Custom Search

Kamis, 22 Januari 2009

A...YA

A…Ya. Kata itu sering muncul dari mulut keponakanku yang baru satu-satunya. Kaevalya Pradnya Paramitha, itulah nama lengkapnya.

Namanya yang cukup panjang ternyata membuat banyak orang kerepotan menyapanya. Eyang (Keluarga dari pihak ibu) menyapa dengan panggilan Alya, yang ternyata hanya dilakukan oleh orang-orang dewasa. Sedangkan saudara-saudaranya yang masih kecil memanggil dengan sapaan Ale-ale (seperti merek sebuah minuman ringan aja ya) yang berasal dari kata Alea. Sedangkan Embah (keluarga dari pihak bapak) menganggap panggilan Mita lebih mudah daripada Alya, sehingga sejak saat itu dia dipanggil “Mita” oleh Embah.

Alya alias Mita tidak keberatan dengan beragam panggilan untuknya, ini terbukti dengan adanya respon baik ketika dipanggil.

Tapi itu dulu, sebelum dia mulai bisa bicara. Sejak usianya memasuki satu tahun dan seiring kecerdasan yang semakin bertambah ternyata dia mulai bisa mempertimbangkan mana nama panggilan yang dia sukai.

Hal ini mulai terlihat belakangan ini, sudah hampir satu bulan ini dia mulai suka mengeja “Aya”. Awalnya kami menganggap dia sedang memanggil ayahnya. Jadi setiap dia mengucapkan kata “Aya”, ayahnya akan menyahut. Tapi lama kelamaan kami mulai meragukan apakah yang dia maksud adalah Ayah.

Dan kata “Aya” mulai dapat kami tangkap maksudnya ketika dia dipanggil oleh mbah.

“Mita, ikut mbah ke warung yuk!” ajak mbah dengan semangat.

“Aya”, jawaban itu yang keluar dari mulut mungilnya.

“Oh … mau ikut Ayah? Ya udah… mbah ke warung sendirian saja” kata mbah sembari meninggalkannya.

Ternyata keponakanku ini bukannya bermain dengan ayahnya, malah langsung menangis dan berjalan dengan susah payah (karena baru bisa berjalan) ke arah mbah. Kemudian mbah menggendongnya dengan sedikit tanda tanya di kepala.

‘Katanya mita mau ikut Ayah kok ditinggal mbah malah nangis?” tanya mbah keheranan.

“Aya”, jawaban singkat itu lagi yang kami dapatkan.

“Itu maksudnya dia minta dipanggil Alya, mbah!” Ibu mita menjelaskan.

Oho, ternyata keponakanku yang lucu ini sudah mulai menentukan pilihan. Hanya saja panggilan yang dia pilih agak membuat kami kerepotan karena harus mengubah sapaan yang sudah satu tahun digunakan.

Kami anggap ini merepotkan karena ternyata setiap dipanggil dengan panggilan Mita, dia akan menjawab “Aya”. Sehingga kami harus menjelaskan pada siapapun yang masih memanggilnya dengan panggilan Mita bahwa sekarang dia tidak mau dipanggil Mita dan hanya mau dipanggil Alya.

Kerepotan kami dalam menjelaskan kepada orang-orang sering disambut dengan tawa kecil dari mereka yang sering juga disertai dengan cubitan kecil pertanda gemas di pipi Alya alias Mita.

Ternyata hari ini rasa geli dan gemas mereka dirasakan langsung oleh mbah. Pagi ini Alya seperti biasa bergelayut manja pada mbah yang telah bersiap-siap keluar rumah sambil menenteng tas.

“Mita ikut Mbah nggak?” tanya mbah yang masih saja belum terbiasa untuk mengganti panggilan kepada cucu tercinta.

“Aya”, ternyata malah jawaban itu yang keluar dari mulutnya.

Mbah yang tau bahwa itu pertanda protes dari cucu tercinta jadi tertawa geli, dan masih sambil tertawa mbah bertanya lagi.

“Alya apa mita?”

“Aya” jawab Alya tegas.

“Mita apa Alya” goda mbah lagi.

“Aya” jawabnya dengan suara keras sekarang.

“Alya apa Mita lah” kata mbah yang ternyata belum puas menggoda.

“Aya, A…Ya” jawabnya kini.

Kami pun tertawa keras bukan cuma karena Alya yang ngotot dipanggil Alya, tapi karena ketika mengucapkan kata Alya yang terakhir dia mengucapkan dengan cara dieja. Seolah-olah dia adalah guru yang sedang mengajari muridnya membaca.

Kejadian itu membuat mbah sontak tertawa keras sambil berkata ”Emangnya mbah, anak SD apa diajari mengeja!’.

Sejak itu mbah memanggilnya dengan panggilan Alya. Mungkin takut kalau-kalau Alya akan mengajarinya mengeja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar