Custom Search

Jumat, 23 Januari 2009

Sebuah perjalanan

Sinar matahari yang menyengat dan bau tumpukan sampah sudah bercampur dengan rasa kekeluargaan. Jalan setapak yang sempit menyempit di antara gubuk kayudan rumah kardus. Teriak riang dan nyanyian anak kecil sedikit meredam bisingnya kendaraan bermotor.
Hembusan angin melewati celah bambu yang disusun rapi yang seolah berfungsi sebagai pagar. Atap yang tidak terlalu tinggi dan dinding bata yang sudah tampak rapuh masih setia untuk berdiri. Sekitar sepuluh pekerja sedang memilah-milah tumpukan besi tua dan sampah plastik. Pemandangan yang akan terlihat setiap hari. Rumah pengepul besi tua dan sampah plastik itu milik ayah Ipin.
Udara dingin mulai merayap bersamaan dengan datangnya malam. Cahaya lampu menggantikan peran matahari. Para pekerja juga sudah selesai dan pulang untuk melepas lelah bersama keluarga.
Segelas kopi menemani ayah Ipin yang duduk di kursi panjang warna coklar sambil asik menghisap rokoknya.
“Ipin, sudah malam. Sebentar lagi ibumu pulang.” Teriak lelaki separuh baya itu pada anaknya.
Suara derap langkah terdengar semakin mendekat menuju teras rumah Ipin. Botol-botol jamu yang sudah kosong disusun dalam bakul anyaman bambu yang kokoh dipanggu ibu Ipin. Raut mukanya tidak sedikit pun memancarkan rasa lelah.
“Ibu malah sudah pulang. Pin, cepat minumnya!” Pak Syah tidak sabar menanti Ipin.
Kehiningan tercipta sesaat, tidak terdengar suara sedikit pun. Segelas air yang diambil Ipin diletakkannya di meja. Ipin lalu duduk di sebelah ayahnya. Sementara ibunya sibuk menurunkan botol-botol jamu dari bakul.
“Bu, laku keras ya?” tanya Iin sembari memluk ibunya. Padahal dia sudah bukan anak kecil lagi.
“Beginilah Pin, ibu harus jalan jauh dulu baru jamunya habis.” Keluh ibu Ipin.
Malam semakin larut dan udara semakin menusuk tulang. Buku pelajaran tidak lagi dipedulikan oleh Ipin. Dentingan daun-daun yang dipukul angin menambah suasana kekeluargaan. Rasa kantuk tidak terbendung lagi.
“Ipin, tidur sudah malam!” teguran sayang ibu Ipin pada anaknya yang seharusnya tidak lagi.
Rasa kantuk yang luar biasa membuat Ipin tidak membantah lagi apa kata ibunya. Kasur merah muda bercorak bunga-bunga dengan ranjang yang tidak terlalu tinggi menjadi pelepas kantuk Ipin. Sentuhan sinar rembulan menjadi selimut dinginnya malam itu.
Saat rembulan tepat di tengah malam dan suara binatang sudah mulai berhenti. Raut muka Pak Syah memancarkan hal yang aneh. Istrinya masih belum bisa memejamkan matanya. Seolah mereka berdua memikirkan sesuatu di hari esok.
“Pak, sudah jangan dipikirkan nanti pusing sendiri.” Ibu Ipin mengunkapkan sebuah keputusan.
“Ya lah Bu, lebih baik kita tidur saja. Besok ya besok.” Pak Syah mengakhiri peracakapan.
Jam dindingkayu tua hanya diam dan menjadi saksi perbincangan kedua orang tua itu. Mengkhawatirkan hari esok yang mungkin tidak lagi bersahabat dengan mereka. Kini malam mulai berjalan cepat seiring terpejamnya mata.
Awan cerah memayungi kediaman keluarga itu. Ipin berencana berangkat lebih awal. Sampai sarapan ia lewatkan. Pak Syah bersikap biasa saja seolah percakapan tadi malam tidak pernah terjadi.
Siang mulai datang, sinar matahari cukup panas siang itu. Sorot mata ibu Ipin menggambarkan sesuatu yang sulit terbaca. Langkah kakinya menuju ruang makan, yang sebetulnya lebih layak disebut gudang. Jaring laba-laba yang pekat menjadi perabotnya. Ibu Ipin memang sering duduk melamun menghabiskan waktu atau meracik jamu di ruangan ini.
Waktu berlomba dengan menculnya kegelisahan di muka Pak Syah. Sesuatu tidak lagi terbendung untuk keluar dari hatinya. Akhirnya Pak Syah berjalan menuju ruang makan. Ia inginmengungkapkan sesuatu pada istrinya.
“Bu, apa yang akan kita harapkan lagi dari hidup ini?” pertanyaan Pak Syah pada istrinya.
“Ya Pak, hidup memang semakin sulit dan sepertinya aku sudah tidak kuat lagi jualan jamu.” kata istri Pak Syah dengan nada yang pelan.
Bunyi burung-burung gereja yang hinggap di atas pepohonan sedikit mengurangi pilu percakapan kedua orang tua itu. Cahaya yang melewati jendela seperti lukisan penghias suasana di ruang makan.
“Pak, aku sudah mantap.” ucapan tegas darimulut istri Pak Syah.
“Iya bu, aku juga. Kita tunggu Ipin dulu.” sahut Pak Syah.
Bulu kuduk Pak Syah mulai berdiri dan percakapan rumit itu pun berhenti. Sesuatu hal yang besar sedang mereka rencanakan. Masalah sosial atau uang mungkin penyebabnya.
Burung-burung gereja mulai pulang ke sarangnya yang berarti hari sudah sore. Tinggal selangkah lagi Ipin sampai di rumahnya. Rasa aneh menggelayuti benak Ipin. Aktifitas para pekerja yang biasanya rame hari ini tidak terlihat lagi. Belum masuk ke rumah, Ipin sudah disambut oleh ibunya. Sesuatu yang tidak biasa dan bahkan aneh.
“Pin, ayo ikut ibu ke ruang makan.” sambut ibu Ipin dengan sejuta senyuman.
“Hehehe, masak enak ya bu?” tanya Ipin dengan semangat.
Mereka berdua langsung menuju ruang makan. Ayah Ipin terlihat duduk melamun memandang nyamuk yang beterbangan ke sana ke mari. Ipin kemudian duduk di sebelah ayahnya dan menidurkan kepalanya.
'Pin, kamu mau ikut ayah dan ibu kan?” tanya ayah Ipin dengan nada yang kosong.
“Iya pak, tapi mau ke mana?” Ipin malah berbalik bertanya dengan muka lugunya.
Ibu Ipin hanya terdiam dan sesekali mengelus dahi anaknya. Suasana hening tercipta. Percakapan yang lagi-lagi sulit dimengerti. Ayah Ipin terlihat mengeluarka sesuatu dari balik sakunya. Nampak sebuah pisau dan dengan cepat Pak Syah menggunakannya untuk memotong nadinya.
Ipin hanya terdiam melihat darah yang terus mengucur dari tangan ayahnya. Sesekali ia memegangi tangannya.
“Pak, aku ikut.” jawab Ipin dengan mantap.
“Ayo Pin kita mulai saja!” perintah Ibu Ipin dengan meneteskan air mata.
Perlahan Ipin mulai memotong nadinya dan dilanjutkan oleh ibunya. Pak Syah mungkin suah tidak bernyawa lagi. Ipin terus memandangi kedua orang tuanya. Tetesan air mata terus mengucur dari Ibu Ipin.
“Bu, apa kita akan masuk surga?” tanya Ipin dengan suara yang parau.
“Ya Pin, kita sedang dalam perjalanan. Nanti di sana kita bersama lagi dan bersenang-senang.” jawab Ibu Ipin dengan senyuman.
Wajah mereka bertiga tampak sangat bahagia. Burung-burung bernyanyi mengiringi perjalanan mereka. Udara di ruangan itu kini tampak lebih bershabat dan mungkin kehidupan dunia yang panas ini tidak lagi mereka rasakan. Sebuah perjalanan yang Ipin, ayahnya dan ibunya yakini. Kematian memang obat terbaik dari sebuah penderiataan.

Oleh:Kemal
Blog penulis : http://www.karoseriblog.tk

Tidak ada komentar:

Posting Komentar