Custom Search

Jumat, 06 Februari 2009

BINGKISAN TERINDAH Oleh hana X3

Aku masih duduk di angkot sambil menikmati angin sepoi-sepoi yang masuk dari jendela. Kusapu pandanganku. Iseng-iseng kuamati sekumpulan anak muda yang sepertinya seumuran denganku sedang berjalan di trotoar sambil tertawa lepas. Mereka terdiri dari satu orang cewek dan empat orang cowok. Dan yang tawanya paling keras terdengar adalah tawa anak perempuan yang berada diantara mereka. Hmm... aku pun hanya menggeleng-gelengkan kepala.
Kemudian yang sebenarnya aku amati sedari tadi adalah tiga anak perempuan dan dua anak laki-laki yang sedang bercerita santai di angkot. Mereka berlima terlihat sangat akrab dan kompak. Kali ini aku diam. Jujur saja... sebenarnya aku sangat sedih ketika melihat anak-anak seumuranku bercengkerama dengan akrabnya seperti itu. Aku selalu berkata dalam hati... Apa... aku bisa seperti mereka... ? batinku.
Ah, sudahlah. Sebenarnya... dari dulu aku ingin mempunyai banyak sahabat dan menjadi orang yang disayangi banyak teman. Mempunyai teman yang tak terima jika aku disakiti. Yah... tapi mungkin memang sudah nasibku seperti ini. Dari dulu aku belum pernah menikmati indahnya mempunyai gank seperti pada anak-anak lainnya. Aku tak mau menjadi orang yang munafik yang tidak mau mengakui bahwa aku juga ingin menjadi orang yang populer. Aku ingin mempunyai banyak teman yang bisa menghargaiku.
Begitulah. Di sekolah aku hanya menjadi anak yang pendiam. Aku sangat ingin bermain dengan anak-anak lain. Tetapi mereka semua sudah mempunyai kelompok bermain masing-masing. Dan satu-satunya teman adalah teman sebangkuku. Dia yang selalu bersamaku. Meskipun tak jarang kami bertengkar karena hal-hal kecil. Tetapi kami selalu tak bisa bertengkar dalam waktu panjang. Namanya Kayla. Kayla berasal dari keluarga yang sederhana. Parasnya manis dan tak sedikit teman sekolahku yang suka padanya. Sudah begitu dia selalu menjadi murid yang berprestasi. Kayla selalu akrab dengan siapapun. Aku heran. Sekalipun baru pertama bertemu dengan seseorang, Kayla selalu bisa mengakrabi seperti layaknya sudah berteman lama.
Sedangkan aku... Aku ini anak yang tidak cantik sama sekali ~menurutku~ dan membosankan. Seorang Monik Adelia ~namaku~ tidak mungkin menjadi pribadi yang sesempurna Kayla. Rasanya aku juga tidak akan pernah bisa merasakan betapa bahagianya menjadi orang seperti Kayla. Meskipun aku berasal dari keluarga yang berkecukupan, bahkan bisa dibilang lebih. Dan aku juga mempunyai kakak yang tampan, Bi Rinah, pembantu dirumahku yang mengurusi segala pekerjaan rumah seperti mencuci baju, sehingga berkat Bi Rinah aku tak perlu repot mencuci bajuku sendiri seperti apa yang Kayla lakukan. Dan aku juga sebenarnya mempunyai sopir pribadi yang mengantar-jemputku. Tapi berhubung hari ini dia sedang ada halangan, jadi aku naik angkot. Apakah semua itu merupakan suatu bentuk kebahagiaan? Tidak bagiku...
“Kiri Pak!” aku segera menyadarkan diri dari lamunanku dan berteriak “kiri” karena ternyata sudah sampai di depan gang. Fiuh... untung tidak terlewat.

“La, ayo cepetan pinjam peermu... !! Tadi malem aku Cuma bisa ngerjain sampai nomer lima doang, nih... !!” ujarku cepat sambil menyerobot kertas jawaban yang baru saja akan Kayla berikan padaku. Kayla hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia berdecak.
“Momon... Momon… dari kemarin ngapain aja sih dirumah? Apa kamu nggak belajar?” tanya Kayla sambil memanggil dengan nama akrabku. Hahaha... beginilah Kayla. Dia selalu baik hati menasehatiku. Sayangnya ya... beginilah aku. Meskipun aku sudah berusaha mengerjakannya ketika belajar, tapi tetap saja aku tak bisa.
“Yaelah... Kan kamu tau La, gimana ‘jeniusnya’ aku sama pelajaran kimia?” tukasku membalik kenyataan. Kayla hanya terkikik. Selagi aku menyalin peernya, Kayla sibuk kesana-kemari mendatangi teman-teman yang memanggilnya. Ya. Sahabatku itu kan memang pintar. Tak heran jika banyak anak yang meminta tolong padanya untuk mengajari pelajaran yang belum mereka pahami. Dari sana sini terdengar pujian dan ucapan terima kasih untuk Kayla.
Aku dan Kayla pulang sekolah bersama. Kami berjalan menuju halte untuk menunggu angkot. Ketika kami sedang asyik mengobrol, tiba-tiba seorang teman kelas sebelah berhenti di depan kami.
“Kayla... aku anter pulang yuk... ?” ucapnya tiba-tiba, yang membuatku cukup kaget. Kayla dan aku saling berpandangan. Kulihat Kayla kebingungan. Mungkin dia merasa tak enak kepadaku. Cepat-cepat kuisyaratkan dengan kepalaku, supaya Kayla menerima tawarannya. Tapi dia menggeleng.
“Maaf Ren, tapi aku nggak bisa. Lain kali aja ya.” ucap Kayla kepada temanku yang bernama Reno itu sembari menyunggingkan senyum dari bibirnya yang mungil. Aku terbelalak. Hey… Kayla bagaimana sih? Kemudian aku segera mencubit tangannya. Aku berbisik kepadanya.
“Bodoh… kenapa kamu tolak..? Kamu nggak usah menghawatirkan aku.. ayo sana..!” ucapku dengan sedikit membentak, tetapi tetap mengatur volume suaraku supaya Reno tak mendengarku. Kayla tetap saja bersikukuh dengan pendiriannya. Aku menghela nafas. Kulihat Reno juga tak menyerah begitu saja. Dia tetap saja menunggui Kayla dan mengajaknya pulang. Aku yang cukup kasihan melihatnya jadi mendorong Kayla.
“Udah sana.. Nih, titip Kayla ya, Ren. Langsung pulang ke rumah tapi lho.. nggak boleh dibawa kemana-mana.” Ucapku sambil tersenyum.
“Hey.. tapi…” Kayla berusaha menepis tanganku, tetapi aku terus mendorongnya. Akhirnya dengan muka yang sangat tak enak karena merasa rikuh kepadaku Kayla menaiki motor Reno. Muka Reno langsung cerah dan memastikan kepadaku bahwa dia akan langsung membawa Kayla pulang. Aku pun hanya tersenyum.
“Beneran nih Mon..?” ucap Kayla sekali lagi. Aku segera ‘mengusir’ mereka berdua sambil menggelengkan kepala. Mereka akhirnya pergi. Tapi setelah mereka sudah tak terlihat lagi senyuman di wajahku pun mulai pudar perlahan. Air mukaku pun berubah menjadi sedih. Dan aku tersenyum hambar.
“Yah… sendirian lagi. Kayla… kapan ada waktu buatku ya..?” ucapku sambil tersenyum sedih. Tetapi kemudian aku memukul dan menggeleng-gelengkan kepalaku sendiri. Bodohnya aku… aku tak boleh egois begini… Kayla kan memang banyak kenalan, jadi wajar dong kalau dia sibuk…! Memangnya dia hanya milikmu seorang, apa?? Aku berkata pada diriku sendiri. Dan tiba-tiba hujan datang. Aku panik dan segera menelepon ayahku.
“Papa… bisa jemput Monik nggak? Di sini hujan deras Pa… Monik kedinginan, nggak bawa jaket… Monik lagi pusing Pa…” ucapku tanpa bohong. Ya. Semalam badanku memang sedikit panas.
“Aduh Monik… Papa sedang rapat… Kamu kan bisa pulang sendiri… Sudahlah… kamu jangan manja… papa sibuk!” Klik. Telponnya dimatikan.

* * *

Kurebahkan tubuhku di kasur. Fiuh… hari ini aku sendirian. Di kulkas tertulis pesan dari Bi Rinah bahwa dia minta izin pulang karena tiba-tiba tadi ada kabar bahwa anaknya sakit. Papa dan Mama tidak ada. Kak Alfa juga tampaknya sedang asyik bersama teman-temannya dan entah sedang berada dimana sekarang. Sekarang… aku kembali sendirian.
“Hatchiii…!!” Aku menggigil. Badanku lemas. Aku pusing… tadi aku kehujanan. Dari jalan raya menuju gang rumahku cukup jauh. Makanya tadi aku kehujanan. Kuselimuti tubuhku dengan bed cover. Tetapi tetap saja kedinginan.
Lalu tanpa sadar airmataku pun menetes.
“Sampai urusan begini pun… Papa masih mementingkan urusan kantor… Dan tadi ketika hujan.. ada teman sekelasku yang melihatku menunggu sendirian di halte… tapi… dia seolah nggak kenal aku… Haha… aku emang nggak seberuntung Kayla ya.” Aku terisak. Lagian siapa sih yang mau memboncengi gadis yang sama sekali tidak menarik sepertiku…?
Tapi sekali lagi aku berpikir… apa semua orang itu mau berteman hanya dengan anak yang cantik-cantik saja…?? Hanya Kayla… hanya Kayla yang mau menerima segala kekuranganku… sayang.. sekarang dia mulai terlihat sibuk dengan teman-teman yang lain…
Mungkin aku terlihat sedikit cemburu… aku takut jika nanti Kayla sudah punya pacar atau teman-teman yang populer seperti dia… aku mau main bersama siapa kalau tiba waktu itu..?? Ah… sudahlah… memikirkan berbagai masalah hanya membuatku semakin bertambah pusing saja. Aku memang selalu sendiri kok. Haha. Sudahlah, lebih baik menunggu Mama datang. Katanya Mama pulang jam 8 nanti malam dan berjanji akan membelikan aku makanan karena aku belum makan.
Menit demi menit berlalu. Sekarang sudah jam setengah sebelas malam. Tetapi Mama belum juga pulang. Aku lapar. Tetapi aku mulai mengantuk. Kepalaku pun terasa semakin berat. Dan aku pun tertidur.
“Momon….!!” Aku terhenyak kaget. Rupanya dari tadi Kayla memanggil-manggilku. Dia menggerutu.
“Huuh… dari tadi aku ngomong dikacangin…! Lagi mikirin apa sih..? Hari ini kamu aneh deh. Yah.. walaupun biasanya juga aneh.” ucapnya sebal. Aku hanya menggeleng dan meminta maaf. Masih terngiang ucapan maaf Mama karena tadi malam Mama pulang jam setengah dua belas malam dengan alasan lembur.
“Eh, Mon, gimana?” tanya Kayla. Aku mengernyitkan dahi. Aku bertanya apa maksudnya perkataan Kayla.
“Aduh.. ya itu tadi… gimana..? Gimana kalo kita berangkat bareng ke pesta ulang tahunnya Sora nanti?” tanyanya lagi. Tunggu-tunggu… Sora adalah teman sekelasku. Eh..? Apa katanya? Ulang tahun…?
“Aku… nggak diundang… kok.” Ucapku lirih, berusaha menerima kenyataan. Kayla membelalakan matanya. Dia lalu membekap mulutnya.
“Ah, maaf…” ucapnya. Aku cuma menggeleng sambil berusaha tersenyum. Dalam hati aku merasa sedih. Mungkin aku bukan termasuk orang-orang ‘terpilih’ yang Sora undang dalam pesta ulang tahunnya. Padahal teman sebangkuku diundang.
Hari ini aku lelah sekali. Aku menunggu jemputan di depan gerbang sekolah. Lama sekali sih Mang Ujang, pikirku. Sembari menunggu, kulihat sepasang suami istri sedang menuntun dua orang anaknya melewati gerbang sekolahku. Sedikit banyak aku mendengar pembicaraan mereka.
“Ayah… ayah… kalo udah gede aku mau jadi dokter!” ucap anak perempuan mereka yang kira-kira berusia 5 tahun dengan polos. Matanya berbinar-binar. Sang ayah mengangguk.
“Iya… iya…! Ibu, aku juga kalo udah besar mau jadi pilot yang hebat..!” timpal anak laki-laki yang kira-kira berusia 7 tahun. Ibunya pun mengangguk.
“Ayah, ayah, gendong…!” ucap si anak perempuan.
“Duh… sini Sayang, anak ayah capek ya…” ujar si ayah sambil menggendong anak perempuannya. Meskipun sudah mulai menjauh tapi aku masih bisa mendengar percakapan mereka. Hm… aku tersenyum. Aku pun dulu punya masa-masa seindah itu. Tetapi sekarang… mungkin… Papa dan Mama… ah sudahlah. Eh, itu Mang Ujang datang.
Malam ini aku senang sekali karena Papa dan Mama pulang lebih awal. Kak Alfa pun hari ini tumben dia tak bermain dengan teman-temannya. Kami makan malam bersama. Aku merindukan suasana di ruang makan seperti sekarang ini.
“Monik, bagaimana sekolah kamu? Udah bisa dapet nilai sebagus kakakmu? Ayo dong Monik, tingkatin prestasi kamu, kayak Kak Alfa tuh.” ucap Papa.
“Ah… Monik jangan ditanya, Pa. Paling-paling juga ulangannya dapet 5 terus!” canda Kak Alfa sambil nyengir. Aku mencibir.
“Yee… nggak ya..! Sembarangan..!” ucapku tak terima. Mama pun melerai kami.
“Ya… gitu deh Pa. Oh iya Pa. Besok ada pertemuan wali murid.. Papa dateng kan?” tanyaku.
“Wah… maaf Mon, Papa nggak bisa datang sepertinya. Papa sibuk. Mama kamu mungkin bisa datang.” Ucap Papa dengan santai. Muka Mama langsung berubah.
“Eh… Papa kok seenaknya gitu sih? Mama juga nggak bisa…Ada acara… Papa aja deh…!” timpal Mama. Lho…?
“Ya nggak bisa gitu dong, Ma! Kan Papa yang kepala keluarga di sini!”
“Terus apa hubungannya?”
“Ya jadi Papa yang lebih wajib cari uang dan lebih berhak mutusin dong!”
“Kalo gitu namanya Papa egois….!!”
“CUKUP……!!!” pekikku. Aku tak mau mendengar mereka bertengkar lagi. Baru saja berkumpul sudah bertengkar lagi. Lihat saja. Kak Alfa pun masih menutupi telinganya karena enggan mendengar pertengkaran Mama dan Papa. Baru saja begini…
“Ya udah kalo Mama Papa nggak bisa dateng. Urusan Monik nggak penting kok. Monik dah selesai makannya.” ucapku sambil berdiri dan membanting pintu kamarku. Lagi-lagi begini. Lagi-lagi begini. Aku benci semua ini. Aku benci.
Siang ini aku pulang lebih awal karena akan ada pertemuan wali murid.
“Mon, orang tua kamu yang dateng siapa? Bokap ato nyokap?” tanya Kayla. Aku menggeleng lemas. Ah… jadi teringat tadi malam.
“Orang tuaku… nggak ada yang bisa dateng, La.” jawabku.
“Lah, terus gimana? Bukannya kata Pak Guru itu rapat penting?”
“Ah…. nggak tau ah. Ngapain dipikirin… udah yuk, ah. Katanya kita mau main…?” ujarku.
“Oh iya… Kita kan mau langsung ke Gramedia… Ya udah yuk… hm… eh, kita sekalian nyari bahan-bahan buat tugas Bahasa Indonesia besok ya?” ucapnya. Yah, paling tidak aku bisa sedikit terhibur dengan refreshing sejenak bersama Kayla.
“Boleh… aku juga sekalian mau beli komik, terus aku juga belum baca ‘Laskar Pelangi’ tuh… pumpung lagi tanggal muda nih… mau beli sekalian ah…!” ucapku.
Kayla mengangguk.
“Wah, asyik tuh… Nanti kalo kamu udah selesai baca, aku pinjem ya, Mon? Eh, iya, nanti aku juga mau beli kue buat adikku ah..!” ujarnya. Aku hanya mengangguk-angguk. Tapi ketika kami hendak menaiki mobil, tiba-tiba ada seseorang yang memanggil Kayla. Rupa-rupanya Reno.
“La, kamu gimana sih? Katanya kamu janji mau ngajarin aku peer Matematika hari ini? Kok kamu malah kabur sih?” ujarnya. Aku memandang Kayla segera. Hey… dia menjanjikan bahwa dia akan mengajari Reno peer Matematika…? Kapan janji itu? Kemarin… apa maksud Reno kemarin waktu dia mengantarkan Kayla pulang? Padahal kan dia sudah janji denganku jauh hari sebelum Reno.
“Aduh, iya… aku hampir lupa, Ren… Wah… maaf Mon, kalo soal pelajaran, itu kan lebih penting daripada main… Maaf ya, hari ini aku nggak jadi nemenin kamu main.” ucapnya dengan enteng. Ya. Dengan sangat enteng.
“Apa kamu bilang? Nggak bisa seenaknya gitu dong, La! Kamu kan udah janji duluan sama aku!” tukasku sedikit emosi.
“Seenaknya gimana? Kok kamu jadi bentak aku sih? Aku kan nggak salah, lebih penting pelajaran daripada main!” balasnya ikut membentak. Aku menjadi benar-benar marah sekarang.
“Kalo gitu kenapa kamu nunda-nunda waktu aku minta diajarin juga kemarin? Terus kenapa setiap kita ada janji kamu selalu ngebatalin dengan enaknya? Aku tau, kamu emang populer! Tapi seenggaknya kamu kudu konsisten, dong! Tepatin janji kamu…! Sekarang giliran Reno yang minta, langsung ngebatalin janji seenaknya! Apa cuma karena kamu suka Reno jadi ngelupain sahabat sendiri, gitu? Iya? Egois!” pekikku. Kayla membelalakkan matanya.
“Apa-apaan sih?! Kok jadi nyolot gitu? Emangnya salahku sendiri apa, aku jadi populer? Banyak yang ngajakin aku juga bukan salahku! Apa kamu iri gara-gara aku diajakin Reno pulang? Apa kamu iri gara-gara temen-temen selalu tanya peer ke aku? Apa kamu marah gara-gara masalah Sora kemarin? Dan apa AKU SALAH sama kamu? Apa aku nyuekin kamu? Apa kamu pikir aku jauh lebih beruntung daripada kamu??” DEG! Kayla menghujaniku dengan beragam pertanyaan yang cukup membuatku terhenyak karena pertanyaan-pertanyaannya tepat mengenai sasaran. Aku emosi. Aku benar-benar emosi. Tapi aku tak dapat menyangkal karena semua pertanyaan Kayla benar adanya. Tak terhitung lagi berapa banyak butiran-butiran bening yang keluar dari mataku.
PLAK! Aku menamparnya. Menampar Kayla. Reno yang sedari tadi kebingungan di situ langsung marah.
“Monik! Apa-apaan kamu ini? Kamu tuh udah keterlaluan tau nggak?!” bentaknya kepadaku.
Aku pun sadar itu. Tapi aku sudah benar-benar tak tahan. Kayla mengernyit kesakitan.
“Kayla, Kayla, Kayla… kenapa sih semua orang selalu muja-muja nama kamu? Kenapa aku selalu jadi yang terbuang? Pikirin… pikirin perasaan orang yang kuper sepertiku! Memangnya enak jadi cewek kuper? Aku… Aku benci kamu….!” bentakku kasar. Aku segera berlari. kutinggalkan Mang Ujang yang kebingungan.
“Aku juga benci kamu…!” teriak Kayla. Sepertinya dia menahan air mata yang akan keluar. Kulihat Mang Ujang berusaha mengejarku. Aku segera berlari lebih cepat. Aku tersandung dan jatuh tersungkur ke tanah. Orang-orang menertawaiku.
Tak ada yang menolong ketika aku begini. Tak ada yang peduli denganku. Aku segera berdiri sendiri dengan menahan sakit. Mang Ujang terus mengejarku. Keras kepala. Padahal sudah kukatakan bahwa aku mau mengangkot saja dan tak usah mengejarku. Dan ketika Mang Ujang semakin mendekat, aku nekat menyeberang dengan kaki terpincang-pincang karena betisku lecet, hingga aku tak bisa menghindar ketika ada sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi dan melesat ke arahku….

* * *

Ketika kubuka mata, kulihat sekeliling. Dinding dan langit-langit, semuanya serba putih. Ruangan yang sepertinya higenis ini pun berbau obat. Kulihat samar-samar orang-orang mengelilingiku. Ah, sekarang sudah jelas. Ada semuanya. Mama dan Papa yang berwajah lembut… tidak seperti biasanya.. dan.. ah, kenapa Mama menangis? Lalu Kak Alfa… yang mukanya berubah menjadi serius dan lembut kepadaku… Bi Rinah dan Mang Ujang… dan… ah… Reno dan… Kayla?
“Momon…..!” Kayla langsung memelukku. Kurasakan airmatanya merembes di bajuku.
“Aduh…” pekikku kesakitan. Bagian yang sakit rupanya tersenggol oleh Kayla. Oh iya, sekarang aku ingat bahwa tadi aku tertabrak mobil.
“Ah… maaf. Begitu senangnya aku, sampai-sampai nggak sadar dengan lukamu. Aku kira…. hiks… aku kira aku nggak akan bisa liat tawamu lagi.” ujar Kayla tersendat-sendat. Kayla mengkhawatirkan aku..? Ah… jangan menangis… aku jadi ikut menangis.
“Kayla… maafin ucapanku yang keterlaluan… Aku sayang kamu…” ucapku. Kayla mengangguk dan berkata bahwa dia juga sayang aku. Kami berpelukan.
“Monik Sayang… Maafkan Mama dan Papa juga, Nak… Kami telah membuatmu merasa kesepian… Maafkan kami…” sekarang giliran Mama memelukku. Mama juga menangis. Papa pun seperti habis menangis. Aku jadi semakin terharu. Mungkin Kayla menceritakan semuanya tentang diriku selama aku belum siuman. Aku mengusap air mata di wajah Mama.
“Mama… Mama jangan nangis…. Mama janji kan akan meluangkan sedikit waktu buat aku? Dan… nggak akan banding-bandingin aku sama Kak Alfa lagi?” pintaku sambil terisak.
“Pasti Nak, pasti… Maafkan Mama ya, Sayang…” ucap Mama lembut.
“Dek, Kak Alfa juga minta maaf ya.. Kakak suka jail… Kakak suka pergi-pergi… tapi Kak Alfa sayang banget sama kamu kok.. Kakak janji, mulai sekarang Kak Alfa akan ngurangin aktivitas Kakak buat kamu..” Kak Alfa mengecup keningku. Aku memeluk Kak Alfa erat. Kulihat Bi Rinah dan Mang Ujang juga tersenyum bahagia.
Kehangatan ini… Ruangan ini… kurasakan penuh dengan kasih sayang… aku merasakan kelegaan… kerinduan yang selama ini dipendam kini telah terobati… batin yang selama ini tertekan pun kini telah sembuh berkat orang-orang disekitarku yang baru kusadari bahwa selama ini mereka menyayangiku… dan… ternyata aku pun bisa menjadi orang yang berharga buat orang lain… keluarga yang hangat… sahabat yang baik…
“Aku sayang kalian..” ucapku dengan penuh haru. Terima kasih Ya Allah, KAU telah memberikan bingkisan terindah dalam hidupku…


***THE END***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar