Custom Search

Kamis, 05 Februari 2009

KUTUNGGU DI BERANDA Oleh Ivan Priaguna Setiawan

Cahaya mulai jemu bermain di malam hari. Kunang-kunang tiba-tiba saja menghilang dari taman. Sayap-sayapnya mungkin berhenti bercahaya, mencoba menggantinya dengan sesuatu yang lebih terang. Bulan juga hanya setengah. Separuh bayanya menghilang jadi bayang yang membisu.

Aku duduk di bawah remang-remang lampu beranda, merenungkan kembali kenangan-kenangan buruk yang masih melekat. Pikiranku bermain sendiri. Bertanya kemudian menjawabnya sendiri. Ketika keheningan menguasai malam ini, aku hanya diam. Pasrah hingga saat-saat bahagia nanti akan muncul. Jari-jari ini tampak lemas, sudah lelah mengerjakan semua tugas yang dibebankan.

Tanpa ada pesan atau pun pengajaran terlebih dahulu, aku dipaksa untuk siap menjadi seorang Ayah, Ibu sekaligus kakak seorang bocah berusia tujuh tahun.

18 September, kepekatan malam menuntaskan hidup Ayah dan Ibuku. Jalan yang memendam semua kebahagiaanku. Ketika itu, Ayah dan Ibu sedang berada di dalam perjalanan, entah dengan alasan apa sehingga kereta yang ditumpangi mereka tiba-tiba mengalami keelakaan.

Apapun penyebabnya, aku tak pernah ingin tahu lebih banyak tentang kematian mereka. Biarlah daun-daun yang terlanjur gugur bisa tenang menyatu kembali dengan tanah. Dan aku percaya hal itu. Segala sesuatunya hanyalah khayalan dalam hidup ini. Hanya sepasang mata kita yang mengatakannya adalah nyata. Nanti, sesuatu saat semuanya pasti akan memudar dari pandangan.

Aku menopang tangan di dagu, memutar kembali waktu-waktu saat Ayah dan Ibuku akan tiba. Adikku, bertanya riang padaku.

"Ayah dan Ibu pasti pulang kan, Kak?"

"Pasti. Tunggu saja."

Ia mengangguk setuju. Senyum dari bibirnya yang memerah terlepas dengan ringan. Kemudian ia berlari ke belakang taman, dimana biasa aku simpan sepeda hadiah dari Ayah dan Ibu ketika hari ulang tahun adikku yang keempat.

Dibawa keluar sepeda mungilnya itu yang juga merupakan barang terakhir yang ditinggalkan.

"Kakak, main yuk. Aku mau tunggu Ibu dan Ayah sampai pulang."

"Main saja sendiri, kakak malas."

Aku menjawabnya dengan nada cuek. Tapi adikku masih kecil, belum begitu banyak mengerti tentang apa yang aku rasakan. Maka, ia tak menghiraukan jawabanku.

Sepedanya berputar-putar di taman. Rumput-rumput yang memanjang itu menari dengan sendirinya. Angina senja itu menari dengan sendirinya. Angina senja ikut menghembuskan rasa kegembiraan-nya. Tapi aku tetap diam, benar-benar melihat ke arah jalan, tak sabar untuk melihat Ayah dan Ibu tiba. Dadaku berdegup kencang. Jika mereka tiba, aku akan bercerita banyak tentang hari-hari bersama adikku. Aku akan bilang kalau malam akan terasa sepi jika mereka tak ada. Ketika mereka pulang nanti, aku juga akan memeluk mereka erat-erat. Dan itu yang ada dalam khayalku.

Enam buln sudah kami tinggak berdua. Tentu saja kami rindu.

Tuhan melihat kami disini menunggu mereka. Tapi ia tetap saja tak mau peduli. Pukul setengah tujuh sore, penantianku berujung duka. Salah seorang tetanggaku melaporkan kejadian buruk itu.

"Ayah dan Ibumu kecelakaan. Kau harus dating ke lokasi sekarang juga, tapi jangan suruh adikmu datang ke sini. Ia tak boleh mengetahuinya. Ingat, bukti-bukti kebenaran kecelakaan itu ada padamu juga." Kata-kata yang meyakinkan. Aku bergegas pergi sambil memikirkan alasan yang tepat agar adikku bisa dengan mudah percaya.

"Dik, kakak pergi dulu ke warung. Mau beli sabun dan shampoo. Kamu jaga rumah ya. Nanti kalau Ayah dan Ibu dating, tapi enggak ada orang di rumah bagaimana? Kasihan bukan?"

"Ya. Tapi Ayah dan Ibu pasti pulang?"

"Tentu saja. Sabar ya." Aku menjawabnya dengan ragu.

Untuk kali yang sama ia mengangguk riang. Sepedanya dikayuh kencang. Kembali menghiasi taman yang sebelumnya hanya sibuk pada keheningannya. Kedua roda sepedanya menggelinding cepat menembus debu-debu dalam rumput-rumput yang memanjang.

Aku pergi, kutinggalkan rumah dengan langkah yang semakin cepat. Aku takut sekali. Nasib bahagia serasa makin jauh. Ia menghilang dari pandanganku. Tapi aku tak bisa menangis. Air mata ini bertahan di dada.

Dari langkah kegetiranku, aku tiba juga di lokasi. Bola matakukah yang rusak hari ini, sehingga aku melihat sendiri, dua orang mayat hangus digotong dengan dibungkus tenda. Aku ingin ke sana, tapi kakiku tak ingin melakukannya. Aku tak bisa melewati batas polisi yang melingkari lokasi kecelakaan. Aku tak ingin memastikan mayat siapa itu, karena aku sudah bisa menarik kesimpulan.

Yang kulihat adalah nyata, bukan khayalan yang sering kumainkan. Semuanya tiga dimensi bukan lagi dua dimensi seperti bayangan-bayanganku sebelumnya. Banyak orang yang hadir saat itu. Sesuatu yang sangat tragis.

Ketika pupil ini mulai membesar aku memaksakannya untuk melihat hal yang masih kelihatan samara. Lampu-lampu jalan bagiku sudah tak berfungsi lagi. Aku sekarang terkurung dalam air mata. Kuhabiskan semua kekecewaanku. Tak peduli hingga semua orang nanti melihatku. Itu orangtuaku. Kedua orangtuaku, meninggal tanpa meninggalkan jejak pesan ditelingaku.

Napasku sesak sekali. Aku mulai tersengal, tangisku juga tanpa suara. Hidungku kurasakan telah memerah, terasa sumpek untuk menahan cairan yang mengental itu agar tidak turun.

Mataku kemudian kosong. Aku gamang. Tubuhku terasa terombang-ambing sekarang. Tapi aku tetap sibuk dengan pikiranku yang jalan cerita didalamnya semakin kacau. Tapi aku tak tahu maksudnya. Bertanya dan menjawab seenaknya saja.

Lima, enam detik setelah itu, seseorang menuju tempatku. Kemudian ia bertanya,

"Dik, kau keluarganya kan? Mari, bantu kami menyelesaikan masalah ini." Aku diam tak bergeming. Angin malam kurasakan menyentuh semua permukaan kulitku. Senja sudah menghilang dari tadi, peristiwa ini adalah hal yang paling menyakitkan.

"Ayo kemari." Ia mengajakku, tapi aku justru membalikkan badan. Aku pergi menjauhi lokasi. Tak tahan melihat semuanya adalah benar-benar nyata. Isak tangis ini, sakit sekali. Aku sudah berlari sekarang, melewati lampu-lampu jalan yang samar.

Sampai juga dirumah, adikku yang kelihatan lelah menunggu, duduk di tangga beranda. Wajahnya kecewa, lusuh sekali. Ia tampak bosan. Debu-debu tadi membuatnya semakin kelihatan tak terawat. Rambutnya berantakan.

"Dik, Ayah dan Ibu tak jadi pulang hari ini. Katnya masih ada tugas mendadak."

"Kapan pulang?"

"Kakak enggak tahu," aku menjawab dengan nada yang kelihatan tak terjadi apa-apa. Untungnya ia tak menyadari, kalau air mataku saat itu belum mongering. Untuk saat ini aku berterima kasih pada lampu taman yang buram.

Adikku pergi dengan langkah yang berlawanan denganku. Ia kelihatan lelah sekali. Telapak kakinya yang tadi masih tampak bersih, sekarang banyak debu yang senang bermain disana.

Aku diam saja. Berjalan memasuki rumah yang terasa hampa. Ketika berada di dalam rumah, kupilih satu kursi panjang. Aku tidur disana hingga tak ada lagi malam yang menyertaiku.

"Yang kulihat adalah nyata, bukan khyalan yang sering kumainkan. Semuanya tiga dimensi bukan lagi dua dimensi seperti bayangan-bayanganku sebelumnya."

Kejadian sebulan lampau menyisakan keperihan. Untung saja adikku tak tahu. Ia hanya menyadari bahwa Ayah dan Ibu belum bisa pulang karena masih ada tugas yang berkepanjangan. Tapi tetap saja, setiap harinya ia selalu bertanya kapan Ayah dan Ibu pulang? Kapan ia bawa mainan pesananku? Kemudian aku menjawab, kalau mereka pasti datang dengan membawa mainan untukmu. Hanya dengan jawaban itu, aku bisa menutupi semuanya. Kebohongan yang selalu berhasil. Dengan jawaban itu pula ia akan merasa puas dan rela menunggu Ayah dan Ibu hingga pulang nanti. Bahkan hingga sebulan sekalipun.

Paginya, seperti layaknya seorang Ibu, aku menyiapkan makanan buat adikku, seperti layaknya seorang Ayah juga, aku mengantarnya hingga tiba di sekolah, di depan gerbang sekolah, aku melambaikan tangan.

"Jangan nakal ya." Aku berteriak. Ia hanya tersenyum kemudian berlari masuk menuju kelas. Seorang bocah yang malang, ia tak pernah tahu kalau Ayah dan Ibunya tak akan pernah pulang.

Dengan langkah yang ragu, aku berjalan pulang. Di jalan, aku melamunkan kembali nasib adikku yang semakin tak jelas.

Ketika sampai di rumah, aku hanya melihat seluruhnya adalah tembok-tembok putih yang justruk menambah kebisuan. Mataku menabrak batas-batas rumah itu. Pusing sekali. Semua sudut ruangan terasa menyesakkan. Jadwalku padat. Jam 9 nanti, aku harus pergi ke makam, jam 10 harus menjemput adikku, sedang siangnya pukul 1 aku harus berangkat sekolah. Tapi sama saja, aku tetap tak bisa mencari kebahagiaan di sekolah, tak seperti yang biasa dilakukan remaja-remaja seusiaku. Semenjak peristiwa naas itu, masa mudaku hilang seketika. Aku tak bisa berbuat seperti seorang gadis muda yang mencoba mencari perhatian terhadap cowok. Kebahagiaan sulit sekali kudapat.

Agak lama menjelang siang, sebelum menjemput adikku, aku beranjak pergi menuju makam yang tak jauh dari rumah. Rutinitas yang setiap minggu aku lakukan. Biasanya aku menangis disana. Bercerita tentang hidupku, serta mengadukan semua kenakalan-kenakalan adikku. Di sana jugalah aku menyadari kalau Ayah dan Ibu benar-benar sudah tiada.

Usai mengadukan nasib disana, aku kembali melanjutkan perjalanan menuju sekolah adikku. Aku membalikkan badan 180 derajat. Tapi, ternyata dibelakangku, sosok bocah telah berdiri tegap sambil menangis disana. Ia mengusap-usapkan pipinya yang dialiri air mata. Kemudian berlari menghindariku ketika aku mencoba meraih tangannya.

"Bukankah kau sudah tahu semuanya?" Aku meneriakkan kata-kata yang mungkin bisa membuatnya berhenti sejenak untuk sekedar mendengarkan alasan-alasan mengapa aku melakukan kebohongan besar selama ini. Tapi ia tetap berlari kecil. Semakin menjauh, kemudian hilang dari pandanganku.

Aku secepatnya berpamitan pada Ayah dan Ibu, aku berlari kencang menyusul adikku hingga tiba di rumah.

Pintu gerbang terbuka lebar, ada yang duduk di tangga beranda. Sikap yang sama seperti saat-saat adikku menunggu kedatangan orangtuaku sebulan yang lalu. Bedanya, sekarang ia menangis. Dengan langkah yang getir, aku memberanikan diri mendekatinya.

"Jangan menangis, anak cowok tak boleh cengeng. Tinggalkan kesedihanmu itu seperti kakak sekarang. Kakak saja tidak menangis. Oh ya, kenapa hari ini kau pulang cepat?"

Ia hanya mengangkat kepalanya. Kesedihan itu terasa dari mata dan hidungnya yang memerah. Air matanya mengalir deras. Aku hanya mengusapkan butir-butiran air mata itu dengan jemari tanganku yang besar.

"Sudah ya, jangan nangis lagi. Masuk yuk."

Tidak seperti biasanya, kali ini ia menggelengkan kepala. Wajahnya yang polos membuatku semakin merasa bersalah.

Hingga malam ia masih disana. Sesekali matanya menerawang ke langit. Ia masih terus menangis. Aku tak bisa mencegahnya. Kubiarkan ia menangis hingga puas. Perasaan seseorang tak boleh dibatasi.

Aku kembali menghampirinya. Langkah kakiku mungkin terdengar jelas, sehingga ia pergi ke belakang taman. Ia membawa sepeda mungilnya keluar. Tanpa pesan, ia bergegas mengayuh sepedanya. Pergi menembus dinginnya angin malam. Dari jarak kejauhan ia berteriak,

"Aku tak akan pulang sebelum menemukan ayah dan ibu, Tunggu aku dirumah!" kata bocah malang itu sembari menangis.

Saat itu entah mengapa aku tak bisa melakukan apa-apa.

Kasihan, ia bocah yang gagal menjalani hidup. Semenjak itu, ia tak kunjung pulang. Tak pernah kulihat sosoknya lagi di sekolah.

Aku pasrah. Ia tak kembali lagi. Tapi, aku tetap menunggu di beranda ini. Menghabiskan sisa waktuku yang sia-sia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar