Custom Search

Rabu, 04 Februari 2009

Mencari Burung sakti Oleh Reza R X-5

Di dekat Danau Toba, Sumatra Utara ada raja bernama Somongga. Ia mempunyai dua anak, keduanya laki-laki. Yang sulung bernama Aji Panurat. Si bungsu dipanggil Aji Pamasa. Keduanya bersaudara mempunyai sifat yang sangat berbeda. Aji Panurat berperasaan iri hati dan suka curang. Adiknya rajin, senang bekerja keras, dan jujur. Suatu hari Raja Somongga memanggil kedua putranya. Aji Panurat diminta ayahnya segera mencari calon istri, pemuda itu ternyata belum siap. Ia mengharap Aji Pamasa dulu yang menikah. Raja memanggil Aji Pamasa dan menyuruhnya mencari calon istri. Jika sudah seizin abangnya, si adik siap. Ia tidak mau melanggar adat.
Raja Somongga mengatakan pada Aji Pamasa,”Ananda tidak melanggar adat istiadat kita. Menurut adat kita, seorang adik boleh menikah lebih dahulu setelah ada izin dari kakaknya. Aji Panurat telah mengizinkanmu, Ananda,” katanya. “Jika demikian halnya, perintah Ayahanda akan Ananda patuhi. Ananda akan melamar putri Raja Usuman di kampung Habitsaran ni mata ni ari ,” jawab Aji Pamasa dengan sopan santun. Keesokan harinya, Aji Pamasa dan para pengawalnya berangkat ke kampung calon pengantin wanita. Mereka membawa bekal secukupnya, seekor kerbau disembelih dan dagingnya dibagi-bagikan kepada para pengiring Aji Pamasa.
Di dekat istana Raja Usuman, Aji Pamasa dan pengiringnya istirahat. Pemuda itu membersihkan badan dan memakai pakaian bagus. Destar di kepalanya sangat indah batikannya. Keris tersisip di pinggangnya. Ia harus tampak gagah di hadapan calon mertua dan calon istrinya. Setelah Aji Pamasa berpakaian lengkap, tembakan kehormatan dilepaskan. Tembakan itu mengejutkan Raja Usuman. Keluarga istana menyangka ada musuh menyerang. Utusan pun dikirim kepada Aji Pamasa. Aji Pamasa menjelaskan, “kedatangan kami untuk meminang putri Raja Usuman”. Mendengar penjelasan itu, Raja Usuman sangat gembira.
Selesai perundingan, Aji Pamasa menyerahkan pundun-pundun kepada Raja Usuman. Benda itu adalah seutas tali-temali bersimpul tujuh. Simpul tali sebagai simbol perjanjian. Setelah tujuh hari sejak perundingan akan diselenggarakan upacara pernikahan. Pihak Aji Pamasa juga membawa pundun-pundun. Masing-masing pihak setiap hari melepas simpul tali untuk menghitung hari. Cara itu dilakukan agar kedua belah pihak tidak lupa pada janji. Setelah masing-masing pihak menerima pundun-pundun, Aji Pamasa mohon diri kepada Raja Usuman. Rombongan itu kembali ke kerajaan mereka dengan hati lega. Wajah Aji Pamasa tampak berseri-seri sepanjang perjalanan pulang. Ia bercengkerama dengan para pengiring. Tak jarang Aji Pamasa menari-nari.
Pada hari ke-7 Aji Pamasa dan rombongan menuju ke istana Raja Usuman. Rombongan siap ke pesta pernikahan Aji Pamasa dan putri Raja Usuman. Mereka membawa perbekalan dan barang-barang antaran untuk calon istri Aji Pamasa. Di tengah perjalanan, rombongan itu bertemu utusan Raja Usuman. Tentu Aji Pamasa dan anggota rombongannya sangat terkejut. “Sangat menyesal, kami mengabarkan, calon istri Tuan telah meninggal dunia tadi malam.” Ketua rombongan Raja Usuman menjelaskan. Kedua belah pihak berduka cita. Mereka menundukan kepala. Dengan hati kecewa karena gagal menikah, Aji Pamasa mengajak rombongannya pulang. Langkah-langkah mereka gontai. Mereka tidak bersemangat lagi.
Aji Pamasa tidak putus asa. Dengan seizin Raja Somongga, Aji Pamasa dan rombongan melamar putri Raja Usuman yang lain. Perjanjian pun telah disepakati. Pada hari ke-7 pernikahan akan dilaksanakan di istana Raja Usuman. Musibah terjadi lagi. Calon istri Aji Pamasa meninggal mendadak, satu malam sebelum upacara pernikahan. Rombongan dari Raja Usuman mengabarkan berita duka cita itu di tengah perjalanan, persis seperti kejadian yang pertama. Aji Pamasa segera pulang dan melaporkan musibah itu kepada Raja Somongga. Raja dan permainsuri hanya mampu menundukan kepala. Seluruh rakyat pun turut berduka cita.
Kini giliran Aji Panurat melamar calon istri, setelah adiknya dua kali gagal. Raja Somongga merestui keberangkatan anak sulungnya itu. Dua kali Aji Panurat mengalami nasib yang sama dengan adiknya. Kedua calon istrinya meninggal juga. Raja Somongga benar-benar terpukul. Mereka tidak berdaya, usaha dan doa telah dilaksanakan. Tetapi, hasilnya sia-sia, penasihat istana diundang untuk diajak berunding. Keputusannya adalah minta bantuan Boru Paet namian di gudo-gudo, seorang perempuan sakti. Seisi istana berdebar-debar menunggu keputusan Boru Paet. Perempuan tua yang sakti itu berdoa lama sekali. Wajah-wajah penghuni istana tampak tegang. Boru Paet akhirnya memberi isyarat, keputusannya esok hari.
Sajian berupa telur ayam, sirih, dan pinang disiapkan. Pinang pun harus yang masih muda. Minyak wangi dan bunga-bunga yang harum disediakan. Para penabuh gendang diminta bermain sebagus-bagusnya. Gendang melagukan dua jenis lagu. Pertama paralamat dan kedua panukkunan.
Selanjutnya Boru Paet memutuskan, “Ananda Aji Panurat dan Aji Pamasa harus menangkap burung yang pandai bicara. Burung sakti itu akan melindungi kalian dari kemalangan. Burung sakti itu pula yang akan membersihkan nasib kalian dari segala kesialan. Laksanakanlah!” Boru Paet menambahkan, burung sakti bias didapatkan setelah mengalami cobaan-cobaan berat berupa penderitaan lahir dan batin.
Aji Panurat dan Aji Pamasa menyiapkan perbekalan untuk berjalan jauh. Burung sakti yang pandai bicara itu tidak jelas ada dimana. Ia harus dicari ke sekeliling bumi ini. Setelah semuanya siap, kedua bersaudara menghadap Raja Somongga untuk minta doa restu. “jangan lupa bawa alat pembuat api.” Raja Somongga mengigatkan kedua putranya. Kedua kakak-beradik itu sujud di hadapan Raja Somongga disaksikan keluarga istana. Di alun-alun depan istana, rakyat mengelu-elukan kedua bersaudara. Rakyat pun berdoa untuk keselamatan dan keberhasilan Aji Panurat dan Aji Pamasa. Tak seorang pun menduga, akan berapa lama perjalanan jauh mereka tempuh.
Aji Panurat dan Aji Pamasa telah menempuh belukar, hutan, sungai, tebing terjal, dan lembah curam. Mereka terus berjalan tak kenal letih untuk mencapai cita-cita, menangkap burung yang pandai bicara. Suatu ketika kedua bersaudara tiba di jalan bercabang dua, kanann dan kiri. Kedua orang itu saling memandang. Mereka bingung dan tidak tahu jalan mana yang harus ditempuh. Tetapi, karena tubuh sangat lelah, kedua bersaudara setuju istirahat. Bekal mereka buka, keduanya makan dengan lahap. Selesai makan, keduanya berunding. Sedang mereka berunding, Aji Pamasa melihat sebuah gubuk di kejauhan. Aji Pamasa mengajak kakaknya menuju gubuk itu. Aji Panurat menyetujui usul adiknya. Mereka berjalan tergesa-gesa menuju gubuk di tengah hutan lebat itu.
Aji Panurat dan Aji Pamasa bermalam di gubuk dalam hutan lebat itu. Pagi harinya Aji Panurat melihat tulisan aneh di atas pintu gubuk. Ia menyuruh adiknya membaca tulisan tersebut. Si adik membaca tulisan itu dengan suara keras, “Jalan yang ke kanan untuk para hantu, mambang,, dan peri. Sedang jalan yang ke kiri bagi manusia,” “jika kita selalu berjalan berdua kemana-mana, pasti tidak akan menemukan burung yang pandai bicara itu,” kata Aji Panurat. “Karena itu, berjalanlah kau ke kanann dan abang ke kirii,”lanjutnya. Aji Pamasa merasa keputusan abangnya itu tidak adil. Tetapi, sebagai adik, dia harus patuh pada perintah kakaknya. Ia pun menempuh jalan para hantu, mambang, dan peri itu.
Aji Panurat terus berjalan di jalan untuk manusia. Di suatu dusun ia melihat orang ramai. Rupanya Raja Tunggul di Judi sedang bermain judi dengan orang sekampungnya. Kedatangan Aji Panurat menarik p.erhatian Raja Tunggul di Judi. “Hai, anak muda!” panggil Raja Tunggul di Judi. “Apa maksud kedatanganmu ke dusun kami?”lanjutnay. aji Panurat bercerita dengan jujur tentang maksud kedatangannya, yaitu mencari burung yang pandai berbicara. Raja Tunggul di Judi mengatakan, burung yang pandai bicara itu tak terdapat di seluruh negerinya. Ia secara ramah mengajak Aji Panurat bermain judi. Aji Panurat terpengaruh oleh rayuan Raja Tunggul di Judi. Ia ikud main judi dan menang terus hari itu. Harta benda Raja Tunggul di Judi habis sama sekali. Tinggal dirinya, istrinya, dan anak gadisnya yang cantik.
Dengan langkah lesu Raja Tunggul di Judi pulang ke rumahnya. Anak gadisnya menyapa sang Ayah di tangga rumah. Sang Ayah menceritakan, ia sudah jatuh melarat karena dikalahkan anak muda yang baru dating. “Ayahanda tidak perlu sedih. Harta benda Ayahanda harus segera kembali,”kata gadis. “Selanjutnya, pemuda asing kita jadikan budak di rumah besar kta. Ajaklah dia bermain judi kembali dan Ananda akan menonton permainan itu”. “Sebaiknya kapan?” Tanya Raja Tunggul di Judi. “Pagi besok lebih baik, Ayahanda”. Raja Tunggul di Judi tidak dapat tidur semalaman. Ia tidak sabar menunggu matahari terbit. Terbayang olehnya harta bendanya kembali padanya. Lalu lawannya akan menjadi budaknya.
Esoknya Raja Tunggul di Judi mengundang Aji Panurat makan siang di rumahnya. Usai makan siang, Raja Tunggul di Judi mengajak tamunya berjudi. Sedang keduanya asyik bermain judi, Gadis muncul. Ia hilir mudik di belakang ayahnya. Gayanya persis peragawati sedang berjalan diatas panggung/ Aji Panurat tertarik pada kelakuan Gadis. Perhatiannya pada permainan judi berkurang. Tak lama kemudian, Aji Panurat kalah. Hasil kemenangan dan bekalnya habis. Pakaiannya di badannya terjual. Karena masih kurang pembayarannya, tubuhnya dijadikan budak olejh Raja Tunggul di Judi. Selanjutnya kaki Aji Panurat dipasung di kayu berlubang-lubang. Maka, tak dapat lagi Aji Panurat pergi mencari burung sakti.
Aji Pamasa yang menempuh jalan bagi para hantu, mambang, dan peri. Suatu hari ia sampai di kebun jambu yang berbuah lebat. Saat itu ia sedang haus dan lapar. Bekalnya sudah lama habis. Baru saja ia akan memetik jambu terdengar suara aneh. “Jangan kau ambil ambil juambu yang di bawah!” Hantu berkata. Baru saja Aji Pamasa akan mengambil jambu yang di atas, terdengar suara lain, “Jangan kau ambil jambu yang di atas! Ambil saja yang di bawah!” Aji Pamasa berpikir, itulah suara hantu. Maka, dia batalkan memetik jambu. Ia bergegas meninggalkan tempat itu dan brjalan lagi. Ia tidak menghiraukan panggilan para hantu di kebun jambu itu. Ia pun tidak mau menoleh sekilas pun. Langkahnya pasti, karena teringat tugas pokoknya, mencari burung yang pandai berbicara seperti manusia.
Di depan Aji Pamasa tiba-tiba muncul sebuah sumur kembar. Sumur di sebelah kanan beriak-riak. Airnya jernih sekali. Sumur yang di sebelah kiri berair keruh dan tampak tenang. Perasaan haus mendorong Aji Pamasa minum air sumur yang jernih. Baru saja kedua tangannya menyentuh air, keadaan berubah. Air itu menjadi keruh. Air sumur yang keruh mendadak menjadi bening. Aji Pamasa pindah ke sumur di sebelah kiri. Saat dia menundukan kepala, air sumur di kiri itu pun menjadi keruh. Begitulah terjadi beulang-ulang. “Ah, inipun godaan hantu!” teriak Aji Pamasa seraya meninggalkan tempat itu. Padahal, tenggorokannya sudah sangat kering saat itu. Tetapi, dia tidak mau terpengaruh. Rasa dahaga dia tahankan sepanjang jalan.
Setelah meninggalkan sumur yang aneh, Aji Pamasa sampai di dua padang rumput. Yang satu tandus, yang lainnya lebat. Aji tercengang menyaksikan pemandangan yang aneh. Kerbau-kerbau yang makan di padang lebat bertubuh kurus-kurus. Sebaliknya kerbau-kerbau yang makan di padang tandus bertubuh gemuk-gemuk. “Apa ini pula?” Tanya Aji Pamasa sambil melihat ke kanan dan ke kiri berganti-ganti. “Ah, inipun tipuan hantu, mambang, dan peri!” teriak Aji Pamasa. Ia melompat ke suatu tebing dan melanjutkan perjalanan. Tiba-tiba kerbau-kerbau itu memanggil Aji Pamasa. Tetapi, pemuda yang berpendirian teguh itu terus berjalan tanpa menoleh-noleh.
Aji Pamasa sampai di kaki gunung yang tinggi sekali. Di gunung itu hanya ada sebuah pohon. Itulah pohon kayangan yang sering di ceritakan di dalam dongeng-dongeng. “Aku akan mendaki gunung itu!” tekad Aji Pamasa. Ia bermaksud bermalam di bawah pohon kayangan. Baru saja akan mendaki gunung, Aji Pamasa dicegat seekor babi betina yang besar. “Hai, siapakah kau? Mengapa kau berani benar mendekati pohon kayangan itu?” Babi itu menegur Aji Pamasa. “Hai, Nenek, jika ingin membunuhku, segera laksanakan agar tidak terlalu lama aku menderita!” jawab Aji Pamasa. “Hai, kalau aku tidak salah, aku mendengar suara cucuku, putra Raja Somongga.” Babi besar itu menukas. “Jika benar dugaanku, apa maksudmu kesini?” Aji Pamasa bercerita mengenai tujuannya mengembara. Ia pun bercerita tentang kegagalannya menikah dengan anak Raja Usuman.
Babi menasihati Aji Pamasa agar menemui Beruang. Setelah bertemu Beruang, binatang itu menyuruh Aji Pamasa menemui sang Ular. Sang Ular menasihati Aji Pamasa agar menemui sang Harimau. Setiap bertemu dengan makhluk-makhluk itu, Aji Pamasa menceritakan maksudnya. “Kau adalah cucuku,” kata Harimau. “Benarkah kau putra Raja Somongga?” Tanya Harimau. Aji Pamasa menjawab, “Ya, kakek.” Sang Harimau mengajari Aji Pamasa melompat tinggi. Ilmu melompat tinggi penting sekali bagi Aji Pamasa untuk mempercepat perjalanan. Aji tiba di rumah Dewi yang bertugas menimbang nyawa orang-orang yang sudah meninggal. Saat Aji tiba, Dewi masih asyik menghitung. Apangerangan yang dilakukan perempuan yang aneh itu, piker Aji Pamasa sambil mendekat perlahan-lahan.
Dari sang Dewi, Aji Pamasa mendapat keterangan mengenai cirri burung sakti. Burung itu seperti burung kitiran dan suaranya mirip burung puyuh. Aji menanyakan pekerjaan sang Dewi yang begitu tekun, terus menghitung. “Semua nyawa makhluk hidup kuhitung,” jawab sang Dewi. “Singkatnya, sayalah yang menghitung nyawa dari segala makhluk bernyawa yang hidup di dunia fana ini,” lanjut Dewi. “Bayi pun kuhitung. Anak kecil yang mati juga kuhitung. Mereka sudah punya rasa malu. Itulah sebabnya mereka minta pakaian. Tetapi, si dewasa yang sudah mampu membeli pakaian banyak yang tidak mengenal rasa malu.” Mengenai rahasia usia lanjut, Dewi mengatakan, “Semangat yang tahan menderita dan punya iman yang teguh diberkati usia lanjut dan kebahagiaan. Nah, lanjutkanlah perjalananmu!” kata Dewi.
Aji Pamasa sampai di tempat kediaman Naga Sipitu Tanduk. Aji Pamasa memperkenalkan diri kepada Naga berkepala tujuh itu. Ia menceritakan pengalamannya. Ular besar yang sakti itu tidak menyakitinya. Naga itu memberinya cincin sakti. Cincin itu disebut cincin yang menjadi-jadikan, tongkat di jalanan licin, suluh di dalam gelap, dan pemuas dahaga di panas terik. Juga menjadi bekal dalam perjalanan. Naga itu pun merestui perjalanan Aji Pamasa. “Jagalah baik-baik cincin itu,” pesan Naga berkepala tujuh. “Terima kasih, aku akan menjaganya,” kata Aji Pamasa sebelum melanjutkan perjalanan.
Aji Pamasa terkejut ketika seorang gadis cantik meludah dari atas bubungan rumah. Gadis itu mengaku sebagai Putri Bulan. Rambutnya tergerai panjang. Sambil menengadah Aji Pamasa menyeka air ludah yang mengenai pipinya. Setelah mengetahui terkena air ludah Putri Bulan yang sakti, Aji Pamasa tertawa terbahak-bahak. “Naiklah, hai, pemuda yang terbahak-bahak!” kata Putri Bulan. “Aku tidak berani,” lanjut pemuda yang berani itu. Jawabnya dengan sopan. Putri Bulan mengulurkan dua helai rambutnya yang sangat panjang itu agar Aji Pamasa dapat naik ke bubungan rumah. Aji Pamasa bergantung di dua helai rambut itu dan naik perlahan ditarik Putri Bulan.
Ketika Aji Pamasa sampai di bubungan rumah, Putri Bulan ketakutan. Ia khawatir ibunya, sang Garuda tidak menyukai pemuda itu. Segera Aji Pamasa disuruhnya berpakaian perempuan. “Hai, Anakku Putri Bulan, aku mencium bau perempuan lain dalam rumah kita ini. Siapakah dia?” “Oh, tidak ada siapa-siapa, Bunda.” Putri Bulan berbohong. “Heh heh heh, tak usah khawatir, aku tak akan mengganggu kawan yang kau sembunyikan itu, heh heh heh. Pemuda tampan itu memang sudah ditakdirkan Yang Maha Pencipta untuk menjadi suamimu, Nak.” Saat itu pula Putri Bulan melepasakan pakaian perempuan di tubuh Aji Pamasa. Sang Garuda memandangi sekujur tubuh Aji Pamasa.
Sang Garuda menanyai nama, asal usul, dan keperluan pemuda yang berani dan jujur itu. Aji Pamasa menceritakan seluruh kisahnya. “Oh, burung sakti itu ada pada Raja Homang,” kata sang Garuda. “Em, taka apa-apa, aku dan Putri Bulan akan menyertaimu dalam perjalanan. Kau sudah terlalu menderita menunaikan perintah Raja Somongga. Aku senang menemukan pemuda yang berani, jujur, dan satria seperti kau.” Putri Bulan merasa senang sekali mendengar pujian ibunya kepada Aji Pamasa. Pandangan Putri Bulan tidak lepas-lepas ke arah muka pemuda tampan itu. Aji Pamasa merasa senang bertemu dengan Putri Bulan dan sang Garuda yang akan menyertai perjalanan panjangnya.
Setelah fajar menyingsing, Aji Pamasa dan Putri Bulan mengikuti sang Garuda ita terbang. Mereka menuju kediaman Raja Homang. Kedatangan mereka disambut nyanyian Burung Sakti di beranda istana Raja Homang. Rja Homang meminta bAji Pamasa bercerita tentang pengalamannya yang penuh penderitaan. Pemuda itu bercerita apa adanya. Ia mencari burung sakti atas perintah orang yang dimuliakan. Abangnya pun melakukan pekerjaan yang sama. Tetapi, Abangnya memilih jalan manusia. Terharu Raja Homang mendengar pengalaman Aji Pamasa. Maka, Burung Sakti dia serahkan saat itu juga dengan tulus ikhlas. Aji Pamasa sangat senang mendapatkan Burung Sakti yang membuatnya menderita itu. Setelah menerima Burung Sakti, sang Garuda mengajak Aji Pamasa dan Putri Bulan pulang ke rumah sang Garuda.
Di rumah sang Garuda, Putri Bulan dan Aji Pamasa dinikahkan. Kedua orang muda itu sangat bahagia. Mereka tersenyum-senyum. Yang hadir menyalami keduannya sambil mengucapkan selamat bahagia. Tetapi, di tengah kebahagiaan itu, Aji Pamasa merasa cemas. Ia teringat pada abangnya, Aji Panurat yang menempuh jalan bagi manusia. “Kanda sedang memikirkan apa?” bisik Putri Bulan. Aji Pamasa menceritakan tentang abangnya pada Putri Bulan. Hal itu segera diceritakan Putri Bulan pada ibunya, sang Garuda. “Perjalanan kembali ke tempat asal kalian berpisah sangat berat,,” bisik sang Garuda. “Sebaiknya Putri Bulan ikut supaya dia mengetahui terus keadaan suaminya. Tidak baik suami-istri berpisah terlalu lama,” nasihat sang Garuda.
Aji Pamasa, Putri Bulan, dan Burung Sakti tiba di gubuk tempat perpisahan dengan Aji Panurat dulu. “Aku akan mencari Abang. Kalian tinggal di sini,” kata Aji Pamasa pada istrinya dan Burung Sakti. Cincin pemberian Naga Berkepala Tujuh ditinggalkannya pada Putri Bulan. Suatu saat cincin sakti itu dapat dimanfaatkan, piker Aji Pamasa. Seorang diri Aji Pamasa menuju kediaman Raja Tunggul di Judi. Saat itu Raja Tunggul di Judi, seperti kebiasaannya sedang berjudi. Ia tidak memperhatikan tamu yang yidak dikenalnya sedang mengawasi gerak-geriknya. Aji Pamasa menyelinap. Ia mencari tempat Abangnya dipasung. Ia akan memperkenalkan diri pada Raja Tunggul di Judi setelah menemukan Abangnya.
Aji Pamasa berteriak tatkala melihat abangnya dipasung dekat tangga. Ia memeluk abangnya yang sudah kurus kering dan dekil itu. “Aku kalah berjudi dan dianiaya seperti ini,” cerita si Abang. Aji Panurat sudah tidak menenali wajah adiknya itu. Ia menyangka lelaki tampan itu adalah algojo yang akan menyiksanya. Aji Panurat terheran-heran setelah menyadari adiknya dapat kembali dengan selamat. Iri dan kagum bercampur di dalam hatinya. “Abang bersabarlah dulu,” bujuk Aji Pamasa. “Aku akan berusaha membebaskan Abang.” “Hati-hati, Dik, kau akan ditantang berjudi oleh Raja Tunggul di Judi dan digoda oleh anak gadisnya yang cantik,” pesan Aji Panurat.
Raja Tunggul di Judi segera mengetahui kedatangan Aji Pamasa. “Siapa kamu,hem?” Tanya Raja Tunggul di Judi angkuh. “Namaku Aji Pamasa, putra bungsu Raja Somongga. Aku dating untuk membebaskan Aji Panurat, abangku,” jawab Aji Pamasa tegas. “Ha ha ha, kalau kau menang melawanku berjudi, abangmu bebas. Jika kau kalah, kau juga akan menjadi budakku,” tantang Raja Tunggul di Judi. Aji Pamasa tetap tenang. Ia memandang muka orang yang telah menyiksa abangnya itu dengan mata tidak berkedip beberapa saat. “Besok pagi-pagi kutunggu kau dib alai istana,” kata Raja Tunggul di Judi, mengulangi tantangannya. “Aku akan dating tepat waktu,” jawab Aji Pamasa.
Raja Tunggul di Judi menggunakan siasat seperti ketika menaklukan Aji Panurat. Sementara perjudian berlangsung, Gadis menggoda lawan ayahnya dengan berjalan hilir mudik supaya konsentrasinya buyar. Siasat itu digagalkan Aji Pamasa dengan segala ketenangannya dan senjata-senjata yang diperolehnya dalam perjalanan panjang. Raja Tunggul di Judi ditaklukkannya. Seluruh harta benda lawannya itu menjadi miliknya. Gadis pun menjadi tawanannya. Raja Tunggul di Judi benar-benar tidak punya apa-apa lagi. Saat itu pula Aji Pamasa membebaskan abangnya dari pasungan. Lelaki yang tidak kuat pendirian itu menangis ketika dibebaskan adiknya. Tetapi, rasa iri hati tetap takhta di dalam hatinya.
Aji Pamasa telah berhasil membebaskan Aji Panurat dari perbudakan yang hina. Dengan segala kemurahan hati, Gadis diserahkan Aji Pamasa kepada abangnya untuk dijadikan istri. Gadis menerima lamaran bekas budak ayahnya itu untuk menjadi suaminya. Ia menggoda kedua bersaudara itu karena cinta kepada ayahnya. Setelah Aji Panurat dan Gadis dinikahkan, Aji Pamasa mengajak keduanya menjemput istrinya di gubuk. Aji Pamasa memperkenalkan istrinya kepada abang dan kakak iparnya. Mereka bersalam-salaman sebelum menempuh jalan pulang. Ayah mereka sudah bertambah tua. Ia menunggu dengan perasaan waswas. Sebab, sejak berangkat kedua anaknya tidak pernah mengirim kabar kepadanya.
Dalam perjalanan pulang, Aji Panurat dan Gadis merasa sangat haus. Aji Panurat mengajak Aji Pamasa mengambil air di jurang yang dalam. Hanya disana ada air yang layak diminum. Mereka membuat timba dari kulit kayu. Kemudian keduanya menuruni tepi jurang itu. Pada sebuah tempat yang curam, Aji Pamasa menurunkan timba. Ia menjenguk ke arah air yang sangat jauh. Pada saat itulah Aji Panurat yang berhati jahat mendorong adiknya ke dalam jurang. Aji Pamasa menjerit dan suaranya samara-samar. Setelah mencelakakan adiknya, Aji Panurat menemui istri dan adik iparnya. Putri Bulan menanyakan dimana suaminya pada Aji Panurat. Lelaki pendengki itu mengatakan, Aji PAmasa tergelincir dan masuk jurang. Putri Bulan menangis sambil meratap dan berlari kea rah juranjg.
Putrid Bulan sampai di tepi jurang. Ia memanggil-manggil nama suaminya. Untunglah suaranya di dengar oleh Aji Pamasa. Ternyata Yang Mahakuasa melindunginya. Ia tersangkut di akar-akar besar, sehingga tidak langsung jatuh ke dasar jurang. Segera Putri Bulan menanyai Burung Sakti, bagaimana menolong suaminya. Burung Sakti mengatakan, dia akan menyampaikan cincin sakti kepada Aji Pamasa agar dia memperoleh kekuatan. Secepatnya Burung Sakti terbang ke dalam jurang dan memberikan cincin saktii kepada Aji Pamasa. Setelah memakai cincin sakti sipajadi-jadi, Aji Pamasa mendapat kekuatan ajaib. Ia berhasil naik ke atas jurang, yang terjal dan bercadas tajam itu. Kedatangannya disambut Putri Bulan dengan tangis bahagia dan rasa syukur kepada Yang Mahakuasa.
Aji Panurat pura-pura sedih ketika tiba dikediaman ayahnya. Ia melaporkan, adiknya telah meninggal karena terjatuh kedalam jurang. Raja Somongga dan Permaisuri tak dapat menahan air mata setelah mendengar laporan anak sulungnya itu. Seisi istana berduka cita atas kematian Aji Pamasa. Aji Panurat berpura-pura pula menyesal karena tidak mampu melindungi adiknya sendiri. “Mengapa kau tidak menolongnya, Panurat ?” Tanya Permaisuri sambil menyeka air mata. “Jurang itu dalam sekali, Bunda” jawab Aji Panurat berbohong untuk kesekian kalinya.
Aji Pamasa dan Putri Bulan pulang menempuh jalan hantu, mambang, dan peri. Ia menghindari abangnya yang jahat itu. Dalam perjalanan pulang, Aji dan Putri Bulan diadang Raja Hartuk, sang Hantu Hutan yang jahat. Raja Hartuk memiliki senjata godam dan tali terbang. Terjadi peperangan antara Aji Pamasa dan Raja Hartuk. Dengan Cincin sakti, Aji Pamasa dapat menaklukkan Raja Hartuk. Godam terbang dan Tali terbang dirampasnya. Lalu buru-buru Aji Pamasa mengajak istrinya dan Burung Sakti ke istana Raja Somongga. Mendengar kedatangan Aji Pamasa, Aji Panurat melarikan diri istana ayahnya, Ia takut segala kejahatannya terbongkar. Aji Panurat berlari tanpa membawa Gadis, istrinya.
Mengetahui abangnya melarikan diri, Aji Pamasa memerintahkan Godam Terbang dan Tali Terbang beraksi. Tubuh Aji Panurat babak belur kena godam. Tubuhnya terjerat oleh Tali Terbang dan dibawa ke istana. Di hadapan Raja Somongga, Aji Panurat mengakui kesalahannya. Ia mengaku telah insaf dan tidak akan jahat lagi. Hari itu pula Burung Sakti dibuatkan sangkar yang indah di istana. Ia menarik perhatian orang banyak karena pandai bernyanyi lagu perdamaian. Pesta syukuran dan perdamaian diadakan di istana. Sejak itu dua bersaudara Aji Panurat dan Aji Pamasa saling menyayangi. Raja Somongga dan permainsuri pun merasa tenteram dan bahagia di hari tua mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar