Custom Search

Rabu, 04 Februari 2009

Denting Piano Oleh :Pipit Pitaloka

Aku tersadar setelah 3 hari aku koma dirumah sakit,namun saat aku tersadar semuanya gelap dan hitam tak ada setirik cahayapun yang ku lihat.
“Alea sayang, kamu udah siuman sayang,” Terdengar suara mamah
disampingku,
“ Mah, kok gelap….”.
“ Sayang…….,” Jawab mamah dengan menagis.
“Mah, Alea enggak buta kan mah! Mah, Alea gak buta kan mah! Alea
gak mungkin buta!” seru Alea.
“Sayang Tapi……” mamah tak sangup meneruskan kata-katanya.
“Alea, Kamu harus bisa menerima keadaan mu sekarang,” Saut
Papah.
“Papah,Alea gak mau buta. Alea masih ingin bermain piano ayah!
Alea gak mau buta!” jawab Alea dengan menangis.
Aku tak mengerti mengapa jalan hidupku berliku-liku. Saat ini aku harus mengalami kebutaan akibat kecelakaan yang menimpa diriku, dan setelah ini Mamah dan Papah akan bercerai. Aku tak mengerti mengapa disaat ini usai ku yang masih 13 tahun harus mengalami semua ini. Dan secara tidak langsung aku akan pindah ke sekolah penyandang cacat karena mata ku yang buta ini.
Tetapi aku harus mampu melewati dan membiasakan diriku dengan keadaanku saat ini, meskipun akan sulit tetapi aku harus berusaha.
Empat tahun telah berlalu, kini usiaku menginjak 17 tahun. Dan akupun telah terbiasa dengan keadaanku yang buta. Tetapi aku tak pernah berhenti untuk berjuang menjadi seorang pianis yang hebat.
Dan kini pun aku telah terbiasa menulis dengan huruf Braille, aku mencurahkan perasaanku dan perjalanan hidupku dengan huruf Braille itu.
Hampir separuh waktu aku habiskan untuk mendengarkan desiran ombak yang terdengar dari kamarku dan bermain piano, maklum saja rumahku berada tidak jauh di tepi pantai.
“Tuhan aku benci kehidupanku, kenapa papah dan Mamah harus
Berpisah ? dan kenapa kau ciptakan kesendirian dalam kegelapan
Ini Tuhan ? mamah sekarang udah gak perduliin Alea, mamah selalu
sibuk dengan bisnisnya,” Gumanku.
Tiba-tiba pintu kamarku terbuka.
“Siapa?” Tanyaku.
“Alea, ini papah. Alea, papah bawa formulir lomba piano, kamu mau
Ikutkan?” Tanya Papah.Aku hanya terdiam, tak menggubris tawaran papah yang sebenarnya aku nginkan, karena aku berfikir, mana ada gadis buta sepertiku mengikuti lomba piano, aku hanya akan mempermalukan Papah saja.
“Alea,kok diem?” Tanya papah.
“Alea gak mau ikut pah,mana ada gadis buta ikut lomba piano, yang
ada papah jadi bahan olok-olokan,” Jawabku.
“Sayang kamu gak boleh lagi berbicara seperti itu lagi! Kamu tak
sejelek yang kamu bayangkan sayang!” gertak papah.
“Tapi lomba piano itu Cuma untuk orang gak buta,” jawabku.
“Alea, Papah janji kalo kamu menang di perlombaan ini papah, mau
kasih kamu kado yang terindah yang belum pernah kamu dapatkan,”
“tapi…….” Jawabku
“Alea harus ikut.,” Papah berkata dan setelah itu Papah
meninggalkanku
Dalam fikiran ku terbesit, apa kah yang akan terjadi saat seorang yang buta ini mengikuti loba piano. Apakah hanya akan mempermalukan saja. Dan apakah kado terindah itu, aku tak sanggup membayangkan semua itu. Namun apa yang dapat ku lakukan ketika Papah terlah berambisi ingin membuat cita-citaku ini tercapai. Dari sejak kecil saat aku belum mengalami kebutaan, aku memang sangat ingin menjadi seorang pianos terkenal. Tetapi saat mengetahui aku buta semua impian itu hancur. Namun Papah dan Mamah yang membangkitkan semua impian ku ini dalam hati ku. Dan aku pun ingin membuat mereka bahagia.
***
Beberapa jam kemudian, hujan turun dengan deras. Dan aku pun sedang duduk di teras menikmati bunyi hujan.
“Alea, masuk. Di luar dingin,” Mamah menghampiriku.
“Mah, Alea mau Tanya.”
“Tanya apa?”
“Mah, apa hujan masih seperti dulu? Atau hujan telah berubah
Jatuhnya seperti benang-benang? Atau hujan sekarang seperti
butiran butiaran mutiara yang berjatuhan ke tanah?”Tanya ku
Mamah hanya terdiam seketika, ketika aku menanyakan semua itu, namun aku mendengar perlahan isakan tangis Mamah yang ingin disembunyikan dari aku. Apakah mamah menagisi partanyaan ku atau hal yang lain.
“Mah, mamah nangis ya?” Tanya ku.
“Engga sayang,mamah hanya sedang flu,”
“ Saat ini hujan masih seperti dulu, rintik-rintik air yang berjatuhan
bersama-sama hingga membasahi apa yang ada di bawahnya. Dan
bahkan mungkin hujan akan selalu seperti itu dan takan berubah.”
Lanjut mamah dengan menahan tangisnya.
Dalam hati ku berkata memang hujan masih seperti dulu namun waktulah yang membuat hujan berubah, karna bila hujan pun aku kini hanya merasakan kegelapan.
Setelah itu Mamah menuntunku masuk ke kamar. Dan kini aku duduk dan aku ingin menulis sebuah puisi.


Tlah gelap waktu ini….
Tlah hilang jiwa ini…
Dalam gelap ku menagis…
Dalam sunyi ku berkata…
Haruskah ku merangkak dalam hujan..
Dimana harus ku cari cahaya untuk dapat menuntunku melaju…
Apakah ku harus meraba deret demi deret waktu….
Apakah semua hidup harus ku jalani dalam gelap…
Aku ingin dulu…
Aku ingin indah…
Aku ingin cahaya…
Tapi apa hanya cahaya semu yang ku raih…
Apakah ini sebuah keadilan…
Ku bimbang dalam keresahan yang makin menjadi…
Aku merasa hilang ku dalam cahaya…
Pudarku dalam hujan…
Denting demi denting mengaluni hiruk pikuk jiwa ini…
Sepi …..
Gelap….
Benci akan semua ini….
Kapankah semua akan kembali dalam genggamanku….
Hanya waktu yang kan menjawabnya…..

Aku menulis semua itu dengan huruf Braille yang harus ku raba deret demi deretnya. Mungkinkah ku dapat melihat kembali ?
Penat memikirkan semua itu, dan malampun makin larut. Aku ingin istirahat.
“Selamat malam…….” Ucapku.
***
Keesokan harinya, aku mengikuti lomba itu. Aku datang dengan digandeng Papah dan Mamah. Itu pertama kalinya mereka berjalan bersama setelah mereka bercerai.
Hatiku makin berdebar-debar, karna saat ini aku harus tampil setelah aku menunggu hampir satu jam. Pembawa acar memanggil namaku. Aku takut, aku malu,aku bimbang karna mungkin hanya aku yang buta disini.
Perlahan lahan aku duduk di depan piano. Sejenak ku berfikir apakah semua penonton memandangiku penuh rasa aneh. Tapi ku tepis semua perasaan itu.
Kini deret demi deret not ku dentingkan. Aku ingin menagis mendengar permainanku. Karna ini adalah lagu yang ayah ciptakan sendiri untuk aku. Aku bermain piano dengan meneteskan airmata.
Sampai pada akhirnya permainanku,ku akhiri. Dan ku dengar tepukan tangan dari penonton. Mungkin mereka bertepuk tangan karena terheran, melihat orang buta bermain piano.
Aku kembali dituntun Papah menuju tempat duduk ku kembali. Papah mengatakan permainan ku sangatlah bagus.
***
Hari ini tepat satu minggu setelah perlombaan piano, dan hari ini adalah pengumuman pemenangnya yang langsung di siarkan di sebuah stasiun swasta terbesar di kota ini.
Setelah menunggu hampir 30 menit, akhirnya namaku di sebutkan dalam acara itu sebagai juara pertama. Aku merasa mendapatkan kembali semangat ku bermain piano.
“ Alea, selamat ya sayang Mamah bangga sama kamu sayang,”
Mamah berkata dengan memeluku erat.
“ Makasih ya mah, ini semua juga berkat dukungan Mamah dan
Papah, tapi Papah mana Mah?” Tanya ku.
“Papah, nanti pasti akan datang,” Jawab mamah.
Tiba-tiba suara telphon berdering,mamah mengangkat dan dia sejenak terdiam. Dia hanya sedikit mengucapkan kata saat menerima telphon itu. Dan sesaat setelah telphon itu di tutup dia memeluk ku dan berkata,
“Alea, pihak rumah sakit menelphon dan memberi kabar baik bahwa
ada pendonor mata untuk mu,” Mamah terharu.
Saat mendengar kabar itu, aku merasa akan mendapatkan kembali hidupku yang tlah lama hilang. Kali ini sungguh hadiah terindah di hidupku.
Dan pihak rumah sakit pun memberitahu bahwa dua hari lagi aku harus berada di sana untuk melewati beberapa pengecekan ulang. Tetapi ada yang kurang dan belum melengkapi ke bahagiaan ini. Karena dimana Papah kini berada, apa Papah mengerti akan berita gembira ini
Dua Hari telah berlalu, kini aku sedang terbaring di salah satu kamar VVIP di rumah sakit termegah se-Jakarta dan bersiap menjalani Operasi Pencangkokan kornea mata.
Tetapi kini ku sendiri, Mamah tak ada disampingku sejak kemarin, banyak pertanyaan yang menyelimuti pikiran ku. Tetapi suster Ema, suster yang sangat paham kepadaku karena seringnya aku keluar masuk rumah sakit itu untuk pengecekan dan terapi kini menemaniku.
Dan kini aku memasuki ruang operasi untuk melakukan pencangkokan kornea mata, dan aku merasakan suntikan obat bius memasuki tubuhku. Dan ku mulai tak sadarkan diri.
Setelah lima jam aku tak sadarkan diri,kini aku bangun. Namun mataku masih ditutupi perban yang akan dibuka esok hari, aku benar-benar tak sabar untuk menanti hari Esok yang cerah. Sambil menanti hari esok, aku kembali menuliskan kisah hidupku dengan huruf braille, yang mungkin ini terakhir kalinya aku menggunakaan huruf itu.
Akhirnya hari yang ku nanti-nanti tlah tiba, kini aku duduk di atas kursi roda, dan suster Ema membuka perban dengan perlahan-lahan dan di sampingku ada Mamah yang menggenggam tanganku dengan erat. Dan sekali lagi tak ada Papah disampingku.
Setelah perban terbuka, aku sungguh-sungguh melihat semua yang selama 4 tahun tak dapat ku lihat, seketika aku memeluk Mamah dan suster Ema.
“Mamah, suster, Lea bisa ngeliat,” Ucapku dengan girang.
“Tapi Mah, Papah mana?” Tanya ku.
“Papah……..” Jawab Mamah.
“Ooh, iya Lea, Papah menitipkan surat untuk mu, Papah
memberikannya sebelum kamu Oprasi. Papah berpesan untuk
memberikan surat ini setelah kamu dapat melihat,” Mamah
memberikan surat ini dengan menangis.
Aku buka perlahan Amplop coklat itu dan ku membacanya.
Untuk Alea tersayang,
Maaf, Papah enggak bisa ada disampingmu tapi surat ini sebagai perwakilan dari papah, Papah mohon Lea bisa mengerti, karena papah kini sudah tak lagi di Indonesia kini Papah ada di Paris. Papah mengerjakan banyak bisnis di sini, tapi doa Papah selalu menyertai mu sayang.
Papah minta jadilah pianis yang hebat yang bisa membanggakan Papah dan Mamah. Walaupun papah jauh tapi papah bisa melihat Lea dan mengerti Lea. Dan satu hal Papah akan selau sayang Alea sampai kapan pun.
Salam sayang untuk Alea

Papah

Tak terasa air mata ku jatuh. Perasaan senang dan sedih bercampur menjadi satu. Namun aku akan mengabulkan permintaan papah untuk menjadi seorang Pianis.
***
Tak terasa tahun telah berganti saat ini usia ku menginjak 20 tahun. Dan tiga tahun sudah aku menjadi seorang Pianis muda ternama, semenjak oprasi pencangkokan kornea itu.
Suatu hari saat aku sedang berada di gudang untuk mencari buku diary ku yang bertuliskan huruf braille, aku menemukan sebuah surat dalam kotak asing yang berwarna coklat dan ku buka surat itu. Ternyata dari Papah untuk Mamah, lekas ku baca.
Jakarta , 27 November 2005
Untuk Mamah Alea,
Hari ini adalah saatnya aku untuk memberikan hadiah untuk Alea kita tersayang yang sudah ku janjikan jika dia memenangkan lomba piano itu. Dan aku ingin memberi tau bahwa aku telah mendaftarkan diri menjadi pendonor mata untuk Alea. Dan jangan kaget saat kau menemukan kartu pendonor di jenasah ku nanti.
Aku mencelakakan diriku sendiri demi Alea kita, Aku ingin dia dapat melihat indahnya dunia ini. Aku akan tetap hidup dalam matanya, dan satu hal jaga Alea dengan baik, aku tak ingin dia kembali merasakan pedihnya dunia untuk ke sekian kalinya.
Dan jaga rahasia ini jangan sampai Alea mengetahuinya.
Begitu terpukulnya aku membaca surat itu, hingga tak dapat ku tahan lagi air mata ini. Lalu ku lari dari gudang menuju ruang kerja Mamah.
“Mamah, apa maksud dari surat ini! Kenapa Mamah
menyembunyikan semua ini dari Alea, kenapa Maamah membiarkan
keinginan bodoh Papah, kenapa Mah!” tanyaku dengan penuh emosi
dan tangisan.
“Maafkan Mamah sayang, tapi……….” Mamah tak sanggup
meneruskan kata-katanya.
“Mah, Alea gak rela.” Ucapku
“Tapi sayang semua sudah terlambat.” Ucap Mamah.
“Papah mengorbankan dirinya karna dia ingin melihatmu bahagia,
dan menjai pianis, seperti cita-citamu dari kecil” Mamah kembali
berkata dengan menangis.
***
Dua hari telah berlalu dari saat kejadian itu, kini aku berdiri di depan pusara Papah. Disini aku mengatakan, aku akan penuhi semua permintaan terakhir Papah. Aku akan berusaha membuat Papah bangga meskipun Papah telah berada jauh dari Alea, dan Lea juga akan membuat Mamah bangga dan bahagia. Dan aku akan mengabdikan hidupku kapada denting piano.
Dan tanpa ku mengerti Mamah, mengumpulkan buku-buku diary ku dan membuat novel dari kisah hidup ku itu. Dan kabarnya novel yang berjudul “ Dentingan Piano Untuk Ku” sangat laris di pasar, dan menjadi novel best seller.
Kini aku sungguh bahagia meskipun ada penyesalan tentang Papah dalam hati ku. Dan setiap aku mengadakan konser piano atau aku sedang bermain piano, aku merasa Papah ada di dekat ku dan melihatku.

- TAMAT-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar