Custom Search

Selasa, 03 Februari 2009

MENTARI DI BALIK SENJA

Oleh: Rizki Gayuh Nugraha X-5

Terinspirasi dari film "DENIAS"

Senja menjelang, malam pun datang. Rembulan terang benderang menyinari malam, langit kelam bertaburkan bintang. Malam ini Joseph dan teman-temannya sedang bermain gundu, tak ada kegiatan belajar. Mereka anak-anak desa terpencil Aikima kecamatan Wamena Papua mengabiskan waktunya dengan bermain dan membantu orang tua. Mereka tidak sekolah sebab tidak ada sekolah di desa itu, sedang sekolah yang ada letaknya sangat jauh. Desa mereka memang sulit sekali untuk di jangkau menggunakan kendaraan darat, hanya helikopter atau pesawat terbang kecil saja yang bisa menjangkau.
Pagi pun datang, hari ini Joseph dan teman-teman bermainnya Maria, Santos, Edo, pergi ke bandara kecil, walaupun jauh mereka tetap pergi. Setelah menempuh jarak sekitar 11 km mereka sampai di bandara. Mereka mendengar akan ada orang asing yang datang ke desa. “Teman-teman, orang asing itu seng jadi datang.”kata Joseph penuh kecewa. “Tidak, kata bapak beta orang asing itu akan datang sekarang.”Bantah Maria. “Memang ada apa orang asing itu mau datang ke desa kita?”Tanya Santos. “Mereka akan mendirikan sekolah di desa kita.” Sahut Edo. “Kalau begitu kita bisa pintar?” Timpal Joseph. “Ya, tapi orang asing itu jadi datang atau tidakkah?” kata Maria agak kecewa. “Beta ingin sekali sekolah.”Edo berkata penuh harapan. “Kita berdo’a saja, semoga kita bisa cepat sekolah.” Kata Santos menasihati. Hampir 4 jam menunggu tidak ada tanda-tanda orang asing itu datang, tak ada suara gemuruh mesin helikopter atau pesawat kecil terdengar. Akhirnya mereka memutuskan pulang saja.
Saat dalam perjalanan pulang Maria menangis. “Maria, kenapa kamu?” Tanya Joseph. “Tidak, beta hanya sedih saja karena kita tidak jadi sekolah, padahal beta sudah senang sekali mendengar kabar itu.” Jawab Maria meneteskan air mata. “Sudahlah Maria jangan bersedih, mungkin Tuhan belum mengizinkan kita untuk sekolah. Aku juga sangat ingin sekolah. Kalau beta sekolah, beta bisa menjadi pintar, bisa jadi dokter, agar beta bisa mengobati penduduk desa yang sakit seperti dokter-dokter dulu yang pernah datang ke desa kita dan bisa membangun desa supaya punya kehidupan yang lebih baik. Percayalah suatu saat nanti kita akan sekolah, seperti impian kita selama ini. Kita pasti sekolah teman-teman.” Kata Santos menenangkan. “Benar apa kata Santos, jangan bersedih pasti suatu saat kita akan bersekolah.” Joseph menimpali dan bersemangat. “Sudahlah, hapus itu air mata mu” Edo berkata. “Terima kasih teman-teman, beta pasti akan selalu berdo’a dan berusaha agar kita dapat sekolah” Maria berkata seraya memperlihatkan senyum manisnya. “Hah, hujan…hujan… hujan turun, aaasyiiik… segar rasanya badan beta!” Joseph senang sambil berlarian. “Bagaimana kalau kita lomba lari sampai ke desa? Siapa yang sampai pertama akan diberi hadiah ubi bakar!” Ajak Edo. “Baiklah, kalau begitu ayo kita lari!” Maria bersemangat. “Ayo lari!” Seru Joseph. Joseph, Edo dan Maria berlari didepan sedang Santos mengikuti dibelakang. “Ya Tuhan, apa beta masih bisa bermain bersama teman-teman? Aku ini sakit. Dulu dokter yang memeriksaku mengatakan aku terkena demam berdarah” Gumam Santos lirih.
Setelah beberapa jam berlari, akhirnya Joseph jadi pemenang dalam lomba lari itu. “Horeeeeeee…. beta menang!” Joseph berjingkrak-jingkrak. “Ah…Joseph menang, dia berlari kencang sekali.” Kata Edo mengeluh. “Haaahaaa……. Sampai juga beta, walaupun tidak menang.” Maria tertawa sambil menahan capai. “ Tunggu… dimana Santos!” Tanya Joseph panik. “Iya, dimana Santos! Apa tadi tidak bersama kamu Maria?” Timpal Edo panik. “Tidak!, beta kira sudah sampai.” Kata Maria. “Ya, beta baru ingat! Kata bapak Santos, Santos terkena penyakit panas badan yang keluar darah, karena disebabkan nyamuk” Joseph memberitahu. “Maksud kamu demam berdarah?” Tanya Maria. “Mungkin ya, saat ada dokter-dokter yang datang ke desa, Santos diperiksa.” Jawab Joseph. “Jangan….Jangan…”Teriak mereka hampir bersamaan. “Kalau begitu cepat kita cari Santos!” Ajak Edo. “Kita berpencar!” Kata Joseph. “Baik, beta akan mencari di seberang sungai yang tadi kita lewati.” Kata Edo. “Beta akan mencari di dekat lereng.” Kata Maria. “Baiklah, beta akan mencari di dekat kebun kopi” kata Joseph. “Ayo cepat kita cari!” Edo panik dan gugup. Mereka berpencar mencari Santos. Berjam-jam sudah berlalu, akhirnya Joseph menemukan Santos terbaring lemas direrumputan basah dengan mulut berdarah. “Santos…Santos…bangun…tolong… tolong-tolong…!!!” Teriak Joseph panik.
Joseph menggendong Santos, sambil terus berjalan menyusuri lereng bebatuan licin. Dalam perjalanan Joseph meneteskan air mata tak kuasa menahan kesedihan hati melihat sahabat dekatnya tergolek lemas. Ditambah lagi impian bersama untuk sekolah. Joseph berniat membawa Santos ke rumah Bapak Petrus untuk disembuhkan penyakitnya dengan ramuan-ramuan tradisional. Di dekat sungai Joseph tak kuat lagi menggendong Santos, ia berteriak minta tolong. “Tolong…Tolong…Tooolloooong….Edo…Maria…beta sudah temukan Santos!cepat bantu beta.” Teriak Joseph keras. “Beta akan cepat bantu” Edo lari kencang. “Tunggu beta juga akan bantu!” Maria berlari.“Bantu beta bawa Santos ke rumah Pak Petrus!” Joseph bergegas. “Baik! Ayo cepat!” kata Edo. “Beta akan cari bantuan penduduk desa!” kata Maria seraya berlari menuju desa. ”Cepat lari lah! Bilang juga kepada ayah Santos!” kata Joseph sambil menggendong Santos.
Maria terus berlari menuju desa. Joseph dan Edo berjuang menyelamatkan nyawa santos, mereka menggendong dengan susah payah. Selang tak berapa lama Ayah Santos datang dan terus menggendongnya menuju ke rumah Pak Petrus. Ayah Santos meneteskan air mata yang tak tertahankan, sedih yang mendalam terasa di hatinya. Mereka sampai di rumah Pak Petrus, namun beliau sedang pergi mengobati anak yang terkena penyakit sama dengan Santos di desa lain. Santos semakin lemas, wajahnya pucat tetapi badannya panas sekali. Detak jantungnya lemah sekali. “Santos…Santos…”Panggil bapaknya. Santos diam saja,matanya terpejam. Bapak Santos khawatir sekalia tetapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Ia menangis memangku Santos. Ia memandang wajah Santos yang tirus. Ia ingat impian Santos untuk sekolah. Tiba-tiba hembusan nafas Santos terdengar setelah itu tak ada lagi nafas Santos. Badannya dingin. Bapak Santos menyadari kalau Santos telah pergi. “Joseph, Edo, Maria… Santos telah pergi” Kata bapak Santos tersedu. “Santos….Huuuu….” Mereka bertiga memanggil Santos dan menagis sejadi-jadinya. “Biarlah Santos tenang disisi Tuhan. Marilah kita wujudkan impian Santos tentang sekolah. Kita harus berjuang untuk bisa ada sekolah di desa kita” Tambah bapak Santos. Sekarang satu impian telah pergi bersama harapan yang belum pasti akan kunjung tiba. Impian anak-anak Aikima, Wamena Papua untuk sekolah.
Beberapa bulan setelah Santos meninggal, Joseph pergi ke Jakarta bersama ayah Santos untuk mencari bantuan kepada LSM supaya mendirikan sekolah di desanya. Sebelum pergi ke Jakarta Ayah Santos menjual babi untuk uang saku nanti. Mereka pergi ke pelabuhan di Sorong.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 5 hari menggunakan kapal laut akhirnya mereka tiba di Jakarta. Sesampainya disana mereka pun bingung mau mencari kemana LSM itu berada. Mereka bertanya ke setiap orang yang di temuinya, tetapi tak ada yag tau letak tempat itu. Setelah berjam-jam mencari, mereka merasa lapar. “ Bapak, beta lapar.” Joseph mengeluh. “Beta juga lapar sekali” ayah Santos berkata. Sambil terus berjalan mereka mencari tempat makan yang cukup dengan kantong mereka. “ Bapak lihat tempat itu kelihatannya makanan nya enak dan murah” kata Joseph. “ Baik kita makan di tempat itu saja” ayah Santos berkata. Setelah makan mereka berniat untuk mencari tempat tinggal sementara, tetapi unag mereka sudah tidak cukup lagi. Akhirnya mereka beristirahat di kolong jembaan bersama gelandangan yang lain.
Mentari pagi tersenyum menyinari bumi, pagi datang. Mereka kembali mencari LSM itu, tak lupa mereka mencari pekerjaan untuk biaya hidup di Jakarta yang mahal. Jalan demi jalan mereka telusuri, akhirnya ayah Sntos menemukan pekerjaan yang pas yaitu pemulung, tak ada pilihan lain karena ia tak punya keahlian selain bercocok tanam. Joseph pun ikut membantu menjadi pemulung, setiap harinya mereka pergi ketempat pembuangan sampah TPA Bantargebang. Mereka memilah-milah sampah plastik dan kertas atau kardus, mereka menjual hasilnya kepada pengepul, uangnya memang tak seberapa banyak tapi bisa untuk menyambung hidup mereka.
Hari berganti hari seminggu sudah mereka hidup di Jakarta belum berakhr perjuangan mereka mencari letak LSM itu berada. Sehari mereka berhenti kerja untuk mencari letak LSM itu, mereka bertanya dengan Polisi tentang LSM yang mau mendirkian sekolah di desanya itu. Hal itu membuakan hasil, Polisi itu tahu letak LSM yang dimaksud itu berada. Polisi mengentarkan mereka ke tempat tujuan, namun sayang LSM itu tak bisa mendirikan sekolah di desa mereka.
Hari berikutnya mereka kembali pergi mencari-cari LSM itu perjalanan panjang menyusuri Jakarta sangat melelahkan. Di jalan Joseph terpisah dengan ayah Santos. Joseph tertangakap razia Satpol PP karena tidak mempunyai tempat tinggal di Jakarta. Joseph di bawa ke kantor Satpol PP, dia dimintai keterangan apa tujuan datang ke Jakara. Setelah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar