Custom Search

Jumat, 06 Februari 2009

Suara di Balik Embun Oleh Bunga

Nama ku Debora Santa Miarcle. Aku adalah seorang anak tunggal dari keluarga menengah. Hobi ku adalah menyanyi dan bermain musik. Belakangan ini aku sibuk berlatih untuk lomba menyanyi tingkat nasional antar pelajar. Hadiahnya sungguh menggiurkan. Yang menjadi juara utama akan dikirim ke Mesir untuk mengikuti lomba menyanyi tingkat internasional antar pelajar.
Sore ini setelah aku selesai berlatih, bergegaslah aku menuju ke halte untuk menunggu angkutan kota. Sudah dua bulan ini aku rutin menjalani aktifitas ku berlatih vokal. Sore ini adalah puncak dari latihan ku karena lusa aku akan mengikuti lomba di Gedung Pusaka Wisma di kota ku yang menjadi pusat segala kegiatan. Dengan semangat aku naik ke angkutan yang sekarang sudah ada di depan ku. Penuh sesak di dalamnya tak membuat ku patah semangat untuk menjalani hari-hari ku yang datar-datar saja. Perjalanan ku tempuh 15 menit. Sebuah takaran waktu yang tidak sesuai dengan jerih lelah ku dalam menunggu angkutan jurusan rumah ku. 15 menit berlalu, kini tibalah aku di rumah ku yang aku anggap seperti istana ku sendiri. Ibu sudah menanti ku penuh kasih di ruang tamu.
“Bu, Debora pulang….”, aku mengetuk pintu dengan lunglai. Ibu bergegas meletakkan tabloidnya dan membukakan pintu untuk ku.
“ Loh, anak ibu kok baru datang sudah lemas begitu? Ada apa, nak? Bagaimana latihan mu hari ini?”, ibu menyambut ku dengan pelukan hangatnya.
“ Tidak ada apa-apa kok, Bu. Debora hanya lelah. Debora ingin istirahat.”, jawab ku dengan datar. Ibu ku terus menatap ku seolah beliau tahu bagaimana perasaan yang anaknya alami sekarang. Penuh dengan ketakutan dalam menghadapi sesuatu hal yang baru.
“ Ya sudah, sekarang kamu mandi, lalu makan ya…”, kata ibu dengan lembut sambil membelai rambut panjang ku yang hitam ini.
Senja telah berubah menjadi malam, kini bintang-bintang mulai muncul dari peraduannya, Tak kunjung ketinggalan, sahabatnya yang bernama bulan menemani kilauan bintang yang bertabur di angkasa luar. Yang terlihat amat kecil dari semua sudut pandang rumah ku. Aku hanya ditemani oleh angin malam yang berhembus dari jendela kamar ku yang sengaja aku buka.
“dua hari lagi, aku mau mengikuti lomba menyanyi dan aku sebagai kebanggaan sekolah…. Apa aku bisa dalam mengikuti lomba ini? Apa aku bisa Tuhan?”, dalam hati ku, aku hanya bisa berkata demikian, aku hanya bisa meratap sendiri sampai satu persatu bintang ditelan oleh awan mendung. Tiba-tiba ibu ku memanggil ku dari belakang.
“Debora, kamu sedang apa, nak? Belum tidur?”, Tanya ibu dengan lembut sambil menyisir rambut ku.
“Debora lagi liat bintang, bu.”, aku melihat ibu hanya tersenyum mendengar jawaban ku.
“ Ibu tahu apa yang ada dibenak Debby. Debby takut kan kalau besok Debby kalah dalam bertanding?”
“ Kok ibu tahu?”, Tanya ku dengan polos dan tanpa sadar.
“Dulu, ibu juga pernah mengalami seperti kamu, nak. Ibu pernah dan sering mengikuti kompetisi menyanyi seperti ini. Ibu pernah tidak mendapatkan juara sama sekali, tapi ibu bangga karena walaupun ibu kalah, namun ibu sudah berlatih keras setiap hari. Jadi, tidak ada alasan bagi ibu untuk menyesali semuanya. Yang penting, kita sudah berusaha semaksimal mungkin.”, nasihat ibu kepada ku. Aku terus melihat bintang yang semakin tertutup awan.
“Tapi, kalau sampai Debby tidak menang, apa teman-teman Debby tidak akan mengucilkan Debby. Yang tadinya Debby akan menjadi kebanggaan sekolah, malah bikin malu aja Bu.”
“ Debby sayang, anak ibu. Ibu yakin kalau Debby akan menang, karena selain suara Debby bagus, Debby juga mempunyai aura tersendiri dalam menyanyikan berbagai macam lagu. Ibu yakin, suatu hari nanti, Debby akan menjadi bintang seperti bintang di langit itu. Yang masih memancarkan cahaya walaupun hampir tertutup oleh awan.” Mungkin malam ini aku bisa tidur dengan nyenyak karena besok aku sudah diberi dispensasi untuk tidak mengikuti pelajaran.
Selamat pagi, aku haturkan untuk semua makhluk di bumi pada pagi hari ini. Di depan ku sudah tersedia makanan wajib ku seperti tempe rebus, kentang rebus, daging rebus, dan minuman hangat yang menggiurkan. Sebetulnya aku ingin sekali merasakan masakan seperti orang normal, namun apa boleh buat, profesi mendorong ku untuk memakan semua yang berbau dengan direbus. Ibu yang dengan setia menyiapkan setiap pagi makanan yang dokter anjurkan untuk menjaga stamina.
“Selamat pagi Debby, ibu mau berangkat ke kantor dulu ya. Jaga diri baik-baik dan kalau ada apa-apa, langsung telepon ibu atau minta tolong Bi Surti ya!”, pesan ibu kepada ku.
“ Iya, bu.”,jawab ku singkat padat dan jelas. Ibu bergegas menuju kantor dengan mobil Toyota Vios terbarunya sebagai inventaris dari kantor dimana ibu ku bekerja. Sudah dua tahun ini setelah ayah meninggal, ibu sebagai tulang punggung keluarga. Dulu hidup kami sangat berkelimpahan, tapi sekarang hidup kami sudah sederhana karena hanya ibu yang bekerja sebagai pimpinan disalah satu bank swasta di kota ku. Terkadang aku merasa Tuhan tidak adil karena kenapa saat aku merasakan kebahagiaan yang sempurna, tapi Tuhan mengambilnya kembali. Memori ku berputar mundur untuk mengingat masa lalu ku bersama ayah, ibu, dan aku. Setiap akhir pekan, kami selalu pergi berekreasi ke berbagai tempat yang belum pernah kami kunjungi. Tapi semua itu hanya tinggal kenangan. Dulu adalah kenangan, dan sekarang adalah masa depan. Itu adalah motto hidup ku. Aku kaget saat Bi Surti masuk ke kamar ku untuk mengambil baju kotor untuk dicuci.
“ Non, maaf, bibi mau ambil pakaian kotor, mau dicuci, non.”
“ Oh, iya, silahkan aja, Bi.”, jawab ku sambil memakan menu sarapan ku. Sambil menghabiskan sarapan, aku memikirkan persiapan ku untuk kompetisi menyanyi besok. Aku harus mempersiapkan kostum yang tepat untuk tema lagu yang akan aku bawakan. Aku akan membawakan lagu yang berjudul Bila Tak Ada Hari Esok, lagu yang pernah dibawakan oleh penyanyi idola ku yaitu Icha Jikustik.
Aku sudah selesai melahap semua makanan yang telah tersedia untuk ku, dan sekarang waktunya aku untuk mandi. Dengan tentram aku berada di bath up dan merasa diri ku segar kembali. 30 menit berlalu tak aku sangka aku sudah mandi selama itu. Ini adalah salah satu sifat buruk ku, mandi terlalu lama. Setelah aku mengenakan pakaian ku, aku berinisiatif untuk mencari baju yang cocok untuk ku besok. Dan beruntungnya aku masih memiliki baju yang pantas pakai untuk mengikuti dalam kompetisi menyanyi tersebut.
Malam ini aku terus berdoa agar esok hari aku bisa menyanyi dengan baik. Dan aku pun mendoakan ibu ku yang sampai sekarang belum juga pulang karena masih berada di kantor untuk menyelesaikan tugasnya yang belum selesai. Aku berharap saat aku pejamkan mata nanti, ibu sudah pulang.
Pagi ini aku sudah rapi dengan gaun yang aku pilih kemarin. Dengan hiasan pita berwarna ungu lavender membuat ku menjadi semakin mantap untuk maju.
“ Ibu, Debby mau berangkat dulu sama bu Nada.” Pamit ku saat ibu akan bersiap berangkat juga.
“ Iya, hati-hati ya, nak. Ibu yakin kamu pasti menang. Maafin ibu ngga bisa nonton kamu nyanyi ya, nak. Soalnya di kantor ibu masih banyak kerjaan yang harus diselesaikan.”
“ Iya, bu. Makasih, ngga apa-apa kok, Bu.” Jawab ku sambil merapikan gaun ku.
“ wah, baju kamu bagus, Deb. Kamu beli kapan?,” Tanya ibu dengan terheran-heran. Aku menjadi kaget dan sanget kecewa. Ibu sudah lupa dengan gaun yang pernah dibelikan ayah saat beliau sedang berada di Australia untuk meneruskan kuliahnya.
“ Ibu lupa sama gaun ini? Ini gaun yang dibeliin ayah, bu…” jawab ku tanpa berekspresi sedikit pun. Ibu yang mendengarnya kaget. Tak beberapa lama, bu Nada sudah menjemput ku di depan rumah ku. Bu Nada adalah guru vokal di sekolah ku.
“ Bu, Debby berangkat dulu.”
“ Hati-hati, nak.” Pesan ibu saat aku akan masuk ke dalam mobil bu Nada. Kami pun berlalu dan perjalanan hidup ku dimulai. Hari ini adalah hari penentuan ku, apakah aku akan semakin maju, atau semakin mundur Karena dalam perlombaan pasti ada yang menang dan yang kalah. Hati ku berdebar-debar saat akan memasuki gedung pertemuan yang sekarang sudah meriah dengan dekorasi dan tatanan lampu seperti dalam ajang pencarian bakat di televisi-televisi swasta. Aku langsung menuju ke belakang panggung karena setiap peserta yang akan tampil harus bersiap di belakang panggung. Para pendukung sudah memadati gedung dari tadi. Dan aku di belakang panggung sendirian, aku tidak kenal dengan siapapun di sini. Bu Nada menunggu ku di kursi penonton.
“ Hai…. Nama kamu siapa?”, sapa salah seorang peserta pria yang di sampingku.
“ Nama ku Debora, kamu siapa?”, aku balik bertanya kepadanya. Rupanya ia tahu kalau aku sedang bingung karena tidak ada teman satu un yang aku kenal. Dan hanya dia yang mau menyapa ku.
“ Nama ku Edward, kamu peserta dari sekolah mana? Oya kamu nomor urut berapa?”, Tanya dia lagi dengan ramah.
“ Aku sekolah di Stella Duce. Aku nomor urut enam. Hmmmm, kamu dari sekolah mana?”
“ Aku sekolah di Kolose De Brito. Oh, kamu nomor enam, aku nomor tujuh.” Kami semakin akrab karena dia yang sangat ramah. Kini sudah tiba saatny aku untuk maju ke panggung dan memperlihatkan kebolehan ku dalam berolah vokal. Aku menyanyikan dengan penuh perasaan dan seolah aku yang menjadi peran utama dalam lagu yang aku bawakan ini. Aku melihat Bu Nada memberi ku dukungan. Beliau tersenyum melihat aku menyanyi dengan penuh penjiwaan. Empat menit aku bernyanyi. Dan kini waktunya aku untuk mendengar kritikan dari para juri. Satu persatu juri memberi saran dan kritik. Aku hanya mendengarkan dan menganggap semuanya untuk acuan. Kini tiba saatnya Edward untuk menunjukan kebolehannya. Aku menontonnya di kursi penonton. Ia membawakan sebuah lagu milik Kerispatih yang berjudul Bila Rasa ku Ini Rasamu. Aku terhanyut dalam setiap alunan lagu yang mengalir seolah membawa ku kedalam kisah didalamnya. Para pengagum, terutama para wanita yang kini sudah mengelilinginya di sekitar panggung berteriak histeris. Aku yang melihatnya menjadi heran dan merasa aneh. Aku menganggap wanita-wanita itu terlalu berlebihan dalam memuja idolanya. Walaupun ia adalah teman sekolahnya sendiri. Tak terasa waktu sudah usai dan aku harus kembali lagi ke belakang panggung.
“Hai Ed, suara kamu luar biasa bagus. Banyak juga penggemar kamu ya?,” ledek ku.
“Ah, suara ku biasa aja. Kamu yang berlebihan muji aku. Suara kamu juga tadi bagus banget. Aku yakin kamu yang jadi juara satu putri. Aku yakin, Deb.” Kata Edward sambil menepuk bahu ku dengan pelan. Saatnya pengumuman langsung. Penentuan juara akan dibacakan oleh pembawa acara.
“Sudah tiba saatnya kita dipenghujung acara. Sekarang langsung pengumuman siapa yang akan menjadi juara utama putra dan putrid dimulai dari juara tiga putri. Juara tiga putri dengan nilai 2245 jatuh kepada, Eshia. Dan juara dua putri atas nama Rofella, dan juara utama adalah…………………. Debora.” Suara pembawa acara dengan lantang menyebutkan nama ku di atas panggung. Aku tidak percaya dan ini seolah seperti mimpi. Edward yang tadinya tegang, kini lega mendengar nama ku disebut sebagai juara utama.
“Selamat, ya Deb. Kamu emang pantes dapet juara.”, kata Edward sembari menjabat tangan ku.
“Makasih, Ed…. Aku seneng banget. Dan moga aja kamu juga jadi juara satu ya!”, jawab ku sambil bersiap menuju ke atas panggung.
“Amin, doain aja, Deb.”, dengan bangga dan haru aku maju ke atas panggung dan berkumpul bersama juara yang lainnya.
“ Dan sekarang, saya akan membacakan juara lomba menyanyi putra…. Juara ke tiga dengan nilai 2266 diraih oleh perserta yang bernama…….. Dion Putra…. Juara kedua dengan nilai 2309 diraih oleh peserta yang bernama….. Jafri Gustaf Silaban….. dan juara pertama diraih oleh…… Edward Marvelous Kurnia Putra…..”, sekali lagi pembawa acara lantang dalam menyebutkan nama para juara. Dengan senyum yang menggambarkan perasaan yang bahagia dan becerminkan apa yang diraih, Edward dengan bangga melangkah mendekati aku. Aku dan Edward naik ke podium dimana juara satu diberi hadiah oleh pemerintah pusat berupa piala besar dan uang senilai lima ratus juta. Serta aku dan Edward akan dikirim ke Mesir untuk mewakili Indonesia dalam kompetisi menyanyi antar pelajar seluruh penjuru dunia. Dan ini tandanya aku hanya diberi waktu dua bulan saja untuk berlatih bersama pasangan duet ku yaitu Edward. Penyerahan hadiah sudah berlangsung, penonton pun sudah keluar dari gedung satu per satu. Tetapi tidak dengan aku dan Edward. Kami berdua harus mengurusi administrasi dan penandatanganan kontrak yang menyatakan harus ada kekompakan antara juara satu pria dan wanita. Selama dua bulan aku harus mengikuti latihan bersama dengan pelatih dari pusat, tidak dari pelatih sendiri. Dan yang terakhir aku tidak boleh mengikat kontrak dengan perusahaan musik lain selama masa kontrak ku belum habis dengan perusahaan musik yang mengontrak aku tersebut. Semua biaya perjalanan dan penghidupan di Mesir ditanggung oleh pemerintah karena kami akan membawa nama baik Indonesia.
“Deb, sampe ketemu besok ya. Kita harus latihan keras biar kita bisa juara nantinya.”, kata Edward saat kami berpisah di tempat parkir karena kami harus pulang ke rumah kami masing-masing.
“Iya, sampe ketemu besok, sama hari yang sangat melelahkan….”, jawab ku dengan malas.
“Kok lesu banget, Deb? Harusnya kamu seneng dong kita jadi juara.”
“aku lesu karena sebentar lagi kehidupan kita berubah….”
“Berubah bagaimana maksud kamu?”, Tanya Edward bingung dan mengurungkan niat untuk membuka pintu mobilnya.
“Iya, tenaga kita akan dikuras semuanya demi sebuah kejuaraan…. Waktu kita jadi berkurang untuk belajar, bermain, dan berkumpul sama orang tua kita.”, jawab ku sambil mata ku menerawang jauh di atas sana karena aku takut jika kehidupan ku berubah. Perbincangan tentang masa depan aku dan dia terhenti saat pelatih Edward dan bu Nada menghampiri kami.
“Oh, ternyata kalian ada di sini ya? Ayo, Deb kita pulang. Nanti ibu kamu nyariin loh…”, kata bu Nada kepada ku dan tersenyum kepada Edward,
“Iya, Bu. Ya udah ya Ed, sampe ketemu besok lagi.”, pamit ku kepada Edward. Kami berpisah di tempat parker kendaraan roda empat. Dan malam ini aku ingin segera memberitahu kepada ibu kalau aku menjadi juara satu.
Hari berganti bulan. Sudah dua bulan aku dan Edward berlatih bersama. Dan ada suatu getaran-getaran yang berbeda. Aku tidak tahu perasaan apa itu, namun yang jelas aku merasa aman di dekatnya. Besok malam aku akan pergi ke Mesir untuk mengikuti lomba menyanyi. Aku sudah mempersiapkan semuanya dengan baik. Fisik maupun mental. Saat aku sedang duduk di pinggir jendela kamar, tiba-tiba handphone ku berdering. Ternyata Edward yang menelepon ku.
“Deb, udah siap semuanya kan buat besok?”, Tanya Edward di seberang sana.
“ Iya, udah siap kok, sekarang tinggal istirahat aja. Kamu udah siap kan?”
“Udah semuanya juga, hmmm…. Ya udah ya Deb, sampe ketemu besok di bandara. Hmm…. Miss you….”, kata Edward saat akan menutup teleponnya. Aku yang mendengar hanya terheran-heran dan tidak bisa menjawab sepatah kata pun. Dia mengatakan Miss You. Dia merindukan ku? Apa itu mungkin? Ataukan ini hanya bercanda saja sebagai teman? Aku mejadi salah tingkah dan tidak tahu lagi bagaimana hati ku rasanya ingin terbang.
“Debby, sudah tidur, nak?”, Tanya ibu di depan pintu kamar.
“Belum, bu….”, jawab ku sambil memperbaiki posisi duduk ku. Ibu lalu membuka pintu kamar ku. Dan dibawakannya secangkir teh hangat. Ibu menghampiri ku dan memberikan minuman teh itu kepada ku.
“Deb, kamu lagi membutuhkan ketenangan. Sekarang kamu minum teh ini ya. Ibu yakin kamu akan jadi juara lagi besok. Kamu semangat ya, nak. Maafin ibu karena ibu ngga bisa nemenin kamu. Ibu terlalu sibuk sama pekerjaan ibu.”
“Iya, bu, ngga apa-apa kok. Lagian Edward juga ngga ngajak orang tuanya buat ikut ke Mesir kok. Hmm…. Makasih ya, bu udah kasih Debby dukungan.”, jawab ku sambil melihat ibu yang terlihat lelah.
“Ibu tidur dulu ya, Deb.”, pamit ibu sambil mencium kening ku.
“Iya, bu. Makasih.”, aku kembali memandang keluar jendela. Dengan seksama aku memandang langit. Tidak ada satupun bintang yang muncul dilangit. Kenapa? Padahal ini bukan musim hujan. Akhirnya aku menutup jendela ku dan tidur dengan nyenyak untuk menyambut hari esok yang lebih baik dari hari sekarang.

Pagi ini dengan semangat aku merapikan pakaian ku untuk segera berangkat ke bandara. Ibu yang mengantar ku ke bandara pun sudah siap dengan pakaian yang rapi karena beliau pun akan berangkat ke kantor.
“Deb, ayo cepat sedikit, nanti kamu ketinggalan pesawat loh….”, teriak ibu dari ruang tamu.
“Iya, bu.” Bergegas aku menuruni anak tangga dengan lincah dan ceria. Ibu hanya menggeleng-geleng saat melihat anak perempuannya memakai baju mirip anak laki-laki. Memang aku sedikit agak tomboy. Tapi hanya penampilan ku saja. Aku lebih suka mengenakan pakaian seperti anak laki-laki. Dengan celana jeans dan kaos longgar disertai jaket levis dan topi mirip laki-laki. Rambut yang panjang ini aku ikat dengan rapi agar tidak mengganggu pandangan ku.
“Ayo berangkat!”, ajak ibu sambil merangkul ku. Barang-barang sudah dimasukan ke dalam bagasi mobil. Dan sekarang tinggal menuju bandara dengan harap-harap cemas akan meninggalkan Indonesia untuk sementara waktu.
“Deb, nanti kalo di sana ada universitas yang bagus, kamu masuk situ aja ya!”, kata ibu saat aku sedang menikmati perjalanan.
“What? Apa,bu? Kuliah di Mesir? Ngga banget gitu loh. Mendingan di Indonesia aja. Ntar kalo Debby pinter kan dapat beasiswa buat kuliah di Jerman. Kalo sekarang, ngapain buang-buang duit, bu? Nanti aja S2 sama S3 Debby di luar negeri.”, jawab ku.
“Wah, iya juga ya, Deb? Ternyata anak ibu pintar juga….”
“Ya iyalah, bu…. Ngapain coba Debby disekolahin kalo ngga jadi pinter.”, jawab ku manja. Akhirnya sampailah aku di bandara yang tidak terlalu padat. Aku masuk ke pintu 3. Aku terus mencari Edward hingga aku melihatnya sedang duduk bersama guru vokalnya dan bu Nada. Aku menghampiri mereka.
“Pagi semuanya….”, sapa ku dengan senyum maut yang aku tujukan kepada Edward kemudian.
“Pagi…. Wah Debby sama ibunya ya? Apa kabar, bu?”, sapa bu Nada kepada ibu ku. Perbincangan akrab menghampiri bu Nada, pak Wilson, dan ibu. Alu dan Edward hanya bisa melihat mereka tertawa terbahak-bahak. Tiba-tiba Edward menarik tangan ku untuk mengajak ku menjauhi mereka.
“Edward, ada apa sih? Pake nyeret-nyeret segala?”, Tanya ku heran sambil melotot ke arahnya.
“Hmmm…. Ngga ada apa-apa. Cuma…. aku…. Aku mau ngomong sama kamu…”, jawab Edward agak gugup.
“Ngomong tinggal ngomong dong!”, kata ku lagi sambil hendak berlalu dari dia.
“Deb, tunggu bentar….. aku suka sama kamu…. Kamu mau ngga jadi pacar aku?”, sebuah pertanyaan yang sederhana namun penuh makna. Seorang Edward yang pinter, baik, dan mempunya berbagai talenta, suka kepada ku dan menginginkan ku menjadi pacarnya? Apa aku tidak salah dengar dan bukan bermimpi? Aku hanya tersenyum melihat wajahnya yang sangat gelisah menanti jawaban dari ku.
“Deb, kalo kamu mau, jawab sekarang aj….”
“Kalo ngga mau jawab sekarang gimana?”, sanggah ku sambil terus melihat wajahnya dengan ditekuk dan merasakan benar-benarnya hampa. Dia terdiam dan tidak berani menatap ku.
“Hei…. Hallo…. Tadi aku Tanya kan…? Kalo aku ngga mau jawab sekarang gimana?”, ledek ku.
“Hmmm…. Terserah kamu aja deh…. Kalo bisa sih sekarang….”, jawabnya.
“Oke, baiklah, aku jawab sekarang….. aku….. aku….. aku….. juga suka sama kamu…. It’s ok… aku mau jadi pacar kamu. But, kamu ngga boleh nyakitin aku satu kali pun.” Jawab ku sambil tersenyum ke arahnya.
“Beneran, Deb? Wah makasih ya…. Sekarang kita pacaran dong…. Horeeeeee”
“Eh, jangan kayak anak kecil dong…..”, teriak ku sambil mengejar Edward yang sedang berlari ke arah ibu, bu Nada dan pak Wilson. Tak terasa waktu sudah berjalan, dan aku harus meninggalkan Indonesia untuk sementara waktu. Ibu kembali ke kantor, dan sekarang kami berempat sudah berada di dalam pesawat untuk berangkat ke Mesir, tepatnya nanti aku akan mendarat di Kairo, Mesir. Di dalam pesawat aku dan Edward duduk bersama. Alangkah senangnya aku bisa memiliki dia. Selama ini aku berfikir apakah mungkin aku bisa mendapatkan Edward? Tapi kali ini sungguh terjadi. Perjalanan 5 jam ke Kairo menggunakan pesawat bukanlah waktu yang sangat sebentar dibanding dengan jarak antara Jakarta ke Pontianak yang hanya membutuhkan satu setengah jam menaiki pesawat.
“Deb, kita udah sampe nih….”, kata Edward membangunkan ku.
“Oh…. Udah sampe ya? emang kita lagi kemana sih?”, jawab ku mengigau karena terlalu lelah duduk sembari tidur.
“Hallo…. Ngigau ya? kita lagi di Kairo, nona….”, jawabnya sambil melepas sabuk pengaman dipinggang ku dan menggandeng ku keluar dari pesawat. Setelah mengurus semuanya, sekarang sampailah kami di hotel yang sudah dipesan khusus dari pemerintah Mesir. Sore ini sampai malam, kami memutuskan untuk istirahat total karena kompetisi menyanyi akan diadakan dua hari lagi.
“Met bobo, Ed….”, ucap ku saat Edward dan Pak Wilson akan masuk ke kamar hotel yang bersebelahan dengan kamar ku.
“Met bobo juga, Deb….”,jawabnya.
Pagi ini aku dan Edward sudah bersiap untuk mengikuti pengarahan dari panitia kompetisi menyanyi ini. Setiap peserta harus menyanyika satu lagu menggunakan bahasa Inggris dan satu lagi berbahasa sesuai negaranya masing-masing. Aku akan menyanyikan satu lagu yang berjudul My Heart Will Go On, lagu yang dibawakan oleh Cellindion. Dan satu lagi yang berbahasa Indonesia yaitu lagu Tulus dari Tia. Edward menyanyikan lagu The Prayer dan Terima kasih cinta. Dan kami menunggu saat itu tiba. Saat dimana kami menunjukan pada dunia kalau kami ini bisa sejajar dengan Negara yang lain.
Tiba saatnya aku dan Edward mengikuti kompetisi ini. Edward sudah siap dengan tuxedonya, dan aku sudah siap dengan gaun yang aku kenakan ini. Gaun yang sengaja dibeli dengan harga dua juta rupiah.
“Deb, hari ini kamu cantik banget….”, puji Edward kepada ku saat menunggu giliran untuk menyanyi.
“Hari ini juga kamu cakep banget…. Biasa aja deh mujinya, Ed….”, jawab ku sambil tersenyum manis. Kini saatnya aku maju dan semua keraguan ku hilang saat aku diberi semangat oleh Edward. Setelah aku menyanyi, sekarang giliran Edward yang naik ke panggung untuk memperdengarkan suara indahnya.
Semua peserta sudah mendapat giliran menyanyi. Sekarang waktunya kami untukmendengarkan hasil perlombaan ini, apakah kami akan menang atau kalah dalam kompetisi ini. Aku dan Edward harap-harap cemas di kursi peserta.
“Deb, moga aja kita menang ya….”, kata Edward kepada ku.
“Iya…. Mudah-mudahan ya, Ed…”, jawab ku sambil menggenggam tangan Edward. Saat hasil disampaikan oleh pembawa acara, betapa terkejutnya kami karena aku dan Edward masuk ke dalam juara tiga besar. Edward juara 1 dan aku juara 2. Ini semua seperti mimpi. Ini berarti aku akan menjadi penyanyi yang sesungguhnya. Aku akan mempunyai album bersama Edward. Bu Nada dan Pak Wilson memeluk kami dan member kami ucapan selamat karena hasil kerja keras kami semua sehingga kami bisa menjadi juara.
Hari ini setelah satu minggu aku berada di Kairo, Mesir, kami harus pulang ke Indonesia dan membagikan kebahagiaan kami dengan orang lain. Bahkan kami akan disambut oleh bapak presiden karena kami sudah membawa nama baik Indonesia ke dalam kancah musik. Seperti biasa di dalam pesawat pasti aku dan Edward tidur dengan pulas. Sehingga ada satu perasaan yang aneh yang menghampiri aku. Pesawat aku rasakan kurang keseimbangan.
“Para penumpang, dimohon untuk mengenakan pelampung dengan benar…”, ucap pramugari dan pramugara yang sedang membagikan pelampung kepada kami. Aku dan Edward mulai pani. Aku takut kalau-kalau nanti terjadi hal-hal yang buruk.
“ Edward…. Kita…. Kita…. Ngga akan pisah kan?”, Tanya ku sambil memeluknya saat kami akan melompat ke bawah. Dan entah kami akan mendarat dimana.
“Tenang, Deb…. Aku disamping kamu…. Aku sayang kamu…..”
“Aku juga sayang kamu….”, saat aku mengatakan hal tersebut, pesawat kami tidak seimbang, dan belum sempat aku melompat ke laut, pesawat ini sudah akan jatuh dan entah dimana. Aku memeluk erat tubuh Edward sambil menangis…. Dan…..
Kehidupan ku sekarang sudah berubah, sudah tidak ada lagi kebahagiaan, sudah tidak ada lagi semangat hidup, dan sudah tidak ada lagi suara ku yang kata orang merdu ini. Sekarang aku lebih suka menyendiri dan tidak bersuara sama sekali semenjak Edward meninggal dalam kecelakaan pesawat bulan lalu. Aku masih teringat dan terlihat jelas wajahnya saat terakhir kali kita bersama. Wajahnya terlihat panik, namun terlihat tenang di depan ku. Sekarang aku sedang berada di rumah sakit. Karena aku mengalami luka yang cukup parah. Tangan ku mengalami patah tulang dan aku harus dirawat intensif. Malam ini aku sudah tidak kerasan lagi di rumah sakit. Aku putuskan untuk lari dari rumah sakit dan pulang ke rumah. Aku tinggalkan sejumlah uang yang cukup untuk biaya rumah sakit selama ini dan meninggalkan rumah sakit dengan diam-diam. Aku melepas infuse yang melekat pada tangan ku. Walaupun sakit tapi aku berusaha untuk melepasnya. Dan sekarang aku bisa lari dari rumah sakit. aku berhasil keluar dari lingkungan kamar. Taapi tiba-tiba saat berada di taman rumah sakit, aku merasa pusing dan….
“Aku dimana?”, aku bertanya bingung saat aku sedang tergeletak di tempat tidur.
“Kamu pingsan di taman rumah sakit, nak.”, jawab ibu dengan panik. Dokter ada di samping ku.
“Kamu ditolong sama Levy. Ini dia yang nolong kamu…”, kata ibu kepada ku. Aku melihat Levy yang agak mirip dengan Edward.
“Makasih, Levy…”, ucap ku agak berat karena kepala ku masih terasa pusing.
“Deb, kenapa kamu coba-coba kabur dari rumah sakit? kamu ngga mikir kesehatan kamu? Kamu belum sembuh betul!”, ibu marah-marah kepada ku.
“Sudah, bu…. Anda jangan terlalu banyak menekan Debora, karena nanti perkembangannya bisa memburuk…. Sebaiknya biarkan Debora istirahat. Saya tinggal dulu, nanti kalau ada apa-apa, panggil saya saja.”, dokter Rambing pamit untuk bekerja kembali dan aku juga masih terbaring lemas. Hanya Levy dan ibu yang masih berada di samping ku.
“Hmmm…. Tante, saya tinggal dulu, saya masih harus nemenin pacar saya…. Permisi tante….”, pamit Levy.
“Oh, iya…. Makasih ya Levy, kalo ngga ada kamu, Debora mau gimana?”
“ngga usah berlebihan, tante…. Itu hanya kebetulan saja kok Levy lewat taman dan liat Debora pingsan, jadi, ya Levy tolong deh…. Deb…. Aku Levy, salam kenal ya…. hmmm…. Lain kali jangan kabur lagi ya, kasihan ibu kamu. Cepet sembuh ya…”, kata Edward. Aku hanya tersenyum ke arahnya. Lalu dia kembali ke kamar pacarnya. Setelah Levy meninggalkan kamar ku, ibu melihat ku dan mendekati ku.
“Deb, kamu kenapa sampai mau kabur?”, Tanya ibu dengan pelan sambil duduk di sebelah ranjang.
“Debby ngga betah, Debby pingin liat….”, tidak sengaja aku akan mengatakan ingin melihat makam Edward. Padahal ibu tidak tahu kalau aku ada hubungan special dengan dia.
“Pingin liat apa?”, Tanya ibu lagi terdengar penasaran.
“Hmmm…. Pingin liat keluar rumah sakit…”, jawab ku sekenanya saja. Ibu mengerti dan menyuruh ku untuk istirahat agar keadaan ku cepat membaik. Ibu sengaja meninggalkan ku sendirian agar aku bisa istirahat. Padahal saat ibu kelur dari kamar, aku menangis mengingat Edward. Dibenak ku masih terlihat jelas saat terakhir kali kami mengalami kecelakaan pesawat. Aku bersumpah seumur hidup aku akan mengutuk si pembuat pesawat yang aku naiki bersama Edward kemarin. Aku bersumpah bahwa keluarganya tidak akan hidup tenang. Tidak akan.

……
Semenjak tragedi di taman rumah sakit, aku dan Levy semakin dekat dan dia sering mengunjungi aku walaupun pacarnya sudah meninggal dua hari yang lalu. Dia sering menemani ku dan mengajak ku untuk bernyanyi bersama, tapi aku tidak pernah mau membuka mulut ku untuk bernyanyi. Hingga suatu hari, Levy mengatakan sesuatu yang sangat membuat aku terkejut.
“Mau sampai kapan kamu akan trauma dengan kejadian kemarin? Suara kamu bagus, kenapa kamu ngga berusaha menghibur diri kamu dengan menyanyi?”, Tanya Levy sambil masih memainkan gitar akustiknya.
“Maksud kamu apa? Itu hak aku buat nyanyi atau ngga nyanyi lagi.”, jawab ku ketus.
“Oke, maafin aku kalau aku udah bikin kamu marah, aku salah…. Aku ngga akan membahas itu lagi.” kata Levy lagi. Ia menghentikan permainan gitarnya. Lalu meletakkannya di samping ranjang.
“Loh, ada apa, Lev, kok kamu berhenti main gitarnya?”, Tanya ku bingung.
“Deb, aku mau ngomong sesuatu sama kamu…. Mungkin kamu ngga akan ketemu aku lagi. Aku mau lanjutin kuliah ku di luar negeri….”
“Apa? Luar negeri? Kamu ngga lagi becanda kan?”, Tanya ku lagi dengan semakin bingung.
“Ngga…. Aku ngga becanda…. Aku serius…. Mungkin aku pulang ke Indonesia kalo aku udah kerja nanti….”, jawab Levy. Aku terdiam dan terus diam. Aku akan kembali kehilangan orang yang memperhatikan ku. Kenapa Tuhan mengambil satu per satu orang yang aku sayang dan memperhatikan ku? Yang pertama ayah, kedua Edward, dan yang ketiga Levy yang akan jauh dari aku. Walaupun baru beberapa minggu kami kenal, namun aku sudah merasa cocok berteman dengannya. Kepala ku pusing, dan aku akan tidur sebentar untuk menenangkan diri ku. Levy pulang kembali ke rumah.
……..
Singkat cerita aku sudah kembali ke rumah dan masuk sekolah, seperti biasa, temna-teman dan guru-guru memberi ucapan selamat datang kepada ku. Levy sudah pergi ke Kanada. Dan aku di sini kesepian seperti dulu. Tapi aku berusaha akan mendapatkan beasiswa untuk kuliah di Kanada.
Hingga saat itu tiba. Aku sudah lulus dari bangku SMA. Aku mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah ku di Kanada. Di universitas yang sama dengan Levy. Tetapi sayangnya aku tidak satu jurusan dengan dia. Aku mengambil jurusan ekonomi. Dan dia akan memperdalam ilmu tentang teknik elektronya. Hari ini aku sudah mulai menjalani aktifitas ku sebagai anak kuliah. Aku harus bersaing dengan mahasiswa-mahasiswa dari Negara lain yang kebanyakan dari mereka adalah orang pilihan. Tapi aku tidak pernah rendah diri, ini membuat kau terpacu untuk terus berjuang dengan mengembangkan kelebihan ku dan prestasi ku. Setiap hari aku jalani hidup yang datar. Tidak ada kegiatan apa pun yang mempertemukan aku dengan Levy. Bahkan semakin aku mencari dia, maka semakin tidak pernah bertemu. Aku harus bagaimana lagi? percuma saja aku kuliah di Kanada, kalau tidak bisa bertemu dengan Levy. Dia adalah semangat hidup ku. Nyaris saja aku akan pulang ke Indonesia dan akan mengulang kuliah dari semester awal. Namun aku ingat dengan ibu yang membiayai kehidupan ku di Kanada yang tidak cukup dengan uang satu juta rupiah. Kasihan ibu jika aku sudah di tengah jalan, lalu berhenti. Aku terus berjuang. Berjuang dari segala cobaan yang menimpa ku sebagai mahasiswa rantau. Aku terus mengejar cita-cita ku. Aku ingin memperbaiki perekonomian di Indonesia bahkan perekonomian dunia. Aku terus berusaha menyelesaikan semua skripsi dan tugas-tugas ku. Hingga sekarang usia ku menginjak 20 tahun. Lima tahun sudah aku tidak bertemu dengan Levy hingga aku sendiri lupa dengan tujuan selain kuliah, aku juga mencari Levy. Tapi entahlah, yang jelas sekarang aku sudah menjadi sarjana terbaik di Kanada. Bahkan pemerintah Kanada menginginkan ku untuk bekerja sebagai penasihat ekonomi di Kanada. Aku terima tawaran tersebut karena pemerintah Kanada tidak melarang ku jika sewaktu-waktu aku ingin kembali dan bekerja di Indonesia.
Hingga suatu hari, terjadi permasalahan dalam perekonomian Kanada, namun aku berusaha tenang dalam menghadapi dan merundingkannya. Sampailah suatu titik temu yang tidak merugikan bagi pihak lain. Karena keberhasilan ku dalam menjadi penasihat perekonomian, maka aku dinobatkan oleh pemerintah Indonesia bahwa aku akan menjadi menteri ekonomi termuda pada usia 22 tahun nanti, namun aku harus meneruskan kuliah lagi S3. Karena aku sudah mempunyai gelar master. Aku terus berkarya hingga aku lupa bahwa dulu aku terkenal karena suara ku, bukan otak ku. Tapi sekarang aku terkenal karena otak ku. Aku yakin dan aku percaya bahwa dengan terkenalnya aku ini, aku bisa dapat lebih mudah bertemu dengan Levy.
Pagi ini seperti biasa aku mengelilingi komplek rumah ku. kebetulan di sudut blok ada sebuah taman yang cukup luas dan sejuk. Embun pagi masih beterbangan dan tidak mau pergi, bahkan matahari pun malu keluar dari peraduannya. Aku duduk di bangku taman yang basah karena embun. Tiba-tiba dihati ku terbersit keinginan untuk menyanyi muncul. Aku ingin mendengarkan suara ku sendiri. Aku pejamkan mata ku dan membayangkan yang dahulu pernah aku lalui. Memori dalam otak k uterus berputar hingga tersentuh dalam hati ku. mulut ku yang tadinya tak bergeming, kini menginginkan aku untuk menggerakkannya dari hati. Sebuah lagu yang sederhana, sebuah lagu yang dulu pernah aku nyanyikan bersama Edward. I want to spent my livfe time loving you.
“ I want to spent my life time loving you…. It’s holly in…”, aku terus menyanyikan lagu itu.
“Debora….. suara mu indah di balik embun pagi yang menutupi wajah mu, tapi aku masih paham dengan suara mu”, kata seorang pria di belakang ku. dan lagu ku terhenti. Aku mencoba menoleh ke belakang. Dan aku melihat sesesok pria yang tidak asing lagi bagi ku. Dia semakin terlihat dewasa dan aku tidak menyangkanya.
“Levy…..”, aku menyebut namanya dan aku tidak merasa asing dengannya. Dia mendekati ku dan aku pun menyusulnya. Aku ingin selalu dekatnya.
“Levy…. Aku sayang kamu….. aku ngga mau kehilangan kamu. Aku selalu cari kamu dan nunggu kamu…”
“Aku juga, Debora….. aku selalu cari kamu, dan aku selalu menunggu kamu. Sekarang kita sama-sama lagi kayak dulu…. Aku sayang kamu”
Semuanya sudah berakhir bahagia. Kami sudah mengikat janji setia di hadapan Tuhan dan hanya maut yang dapat memisahkan kami. Karena pernikahan yang sudah disatuhan oleh Tuhan, tidak boleh diceraikan oleh manusia. Diusia ku yang sudah 22 tahun ini, aku kembali ke Indonesia bersama Levy, yang sekarang sudah menjadi suami ku. Aku bersyukur…. Terima kasih Tuhan…..


SELESAI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar