Custom Search

Selasa, 03 Februari 2009

PERSAHABATAN DAN CINTA

Oleh: tami X-1

Reyhan, orang yang sering disapa dengan panggilan Rey adalah lulusan SMA Negeri di Purwokerto yang baru memasuki masa-masa kuliah di Universitas Sebelas Maret di Solo, Fakultas Kedokteran. Banyaknya prestasi-prestasi yang ia raih di SMA, membuatnya dengan mudah masuk ke Universitas tanpa tes. Siapa yang tidak mengenal Rey, dia orang terpandai sewaktu di SMA. Dia juga seperti lelaki pada umumnya. Berisik, tidak pernah mau diam. Dari sifatnya itulah dia mendapat banyak perhatian dari teman-teman, maupun para guru. Tetapi dia bertingkah laku baik pada mereka menghormati serta menyayangi mereka walaupun kadang-kadang terjadi konflik. Dia tidak pernah pandang bulu dengan siapa dia berteman. Orang yang pintar atau tidak, kaya atau tidak. Dari kepribadiannyalah menumbuhkan benih-benih cinta yang ada dalam diriku.
Dan hari ini, aku merasa bahagia karena aku bisa satu sekolah dengannya bahkan satu jurusan.
***
Pagi ini, mentari bersinar lebih awal tidak seperti biasanya. Burung-burung berkicauan. Angin sepoi-sepoi. Serasa ikut merasakan apa yang ada dalam hatiku membuatku ingin sekali tiba di sekolah hanya untuk menyambutnya datang.
Di Solo, aku tinggal bersama mamah di rumah Opa. Adiku tidak mau ikut bersamaku dia tetap ingin bersama Ayah di Purwokerto, maklum dia ingin lebih bebas dan tidak ada peraturan yang mengikatnya tidak seperti Ibu yang penuh dengan aturan. Sebenarnya aku hidup di keluarga broken home. Tetapi tidak separah seperti pada umumnya. Meskipun ayah ibu sudah berpisah sejak aku SMA, aku dan adikku masih bisa merasakan kasih sayang dari kedua orang tua.
Pernah aku mencoba mempersatukan mereka berdua. Tapi gagal gara-gara Tante Mira, calon istri baru ayah yang super nyebelin. Entah apa yang merasuki pikiran ayah, sampai-sampai dia mau menikahi tante Mira Desember tahun depan. Aku hanya berharap pernikahan Ayah dan Tante Mira gagal total karena aku benar-benar tidak setuju. Aku ingin Ibu dan Ayah kembali hidup bersama.
***
Tradisi keluargaku, setiap pagi sebelum berangkat sekolah yaitu sarapan pagi bersama. Hal yang positif dan bisa meningkatkan rasa cinta dan keakraban serta keharmonisan di kalangan anggota keluarga.
Menu sarapanku hari ini sambal tumpang khas Solo racikan Ibu dan Nenek. Akupun memakannya dengan lahap karena makanannya sungguh enak.
“Almi kamu berangkatnya di antar Pak Sopir aja ya.”
“Lho kenapa bukan Ibu yang ngantar, hari ini kan hari pertama Almi masuk Universitas.
“Ya, Donna, kenapa kamu nggak ngantar Almi ke sekolah.”
“Tapi Mah.”
“Almi kan hanya ingin di hari yang bahagia ini, kamu ada bersamanya. Lagi pula Almi kan sudah susah payah berjuang agar masuk ke Universitas Sebelas Maret. Universitas yang tidak semua orang bisa masuk ke dalamnya.”
“Ya udah, Almi, kamu ke sekolah di antar Ibu ya.”
“Asyik ... !!! Makasih ya Oma dah mau mbujuk Mamah.”
“Sama-sama sayang.”
“Ayo Almi kita berangkat.”
“Oke Mam.”
***
Di perjalanan, aku bercerita banyak pada Mamah tentang Reyhan. Orang yang aku suka. Mamah pun tidak marah jika aku bercerita masalah Reyhan kepadanya. Dia beranggapan positif, sebab Mamah suka sifat yang terbuka. Jadi kami sering berbagi cerita tentang masalah yang kami hadapi. Dan kami mencari solusinya bersama. Itulah sebabnya aku lebih suka tinggal bersama Mamah ketimbang Ayah. Yang jarang bisa diajak ngobrol. Karena Ayah selalu sibuk di Purwokerto mengurusi perusahaannya.
Sebentar lagi sudah memasuki lingkungan sekolah. Tiba-tiba ada seseorang yang mengendarai motor dengan cepat melewati mobil kami. Dan anehnya ada seorang laki-laki paruh baya mengikuti dari belakang motor tersebut dengan berlari, sepertinya dia seorang dosen.
“Wah, sungguh keterlaluan pengendara itu. Ada dosen yang mengejarnya, bukannya berhenti malah jalan terus.”
“Nanti pulangnya sama Pak sopir aja ya, Mamah ada urusan dengan client Mamah.”
“Beres. Dah Mah.”
“Hati-hati ya di sekolah.”
***
Saat menyeberang, aku melihat ada anak perempuan yang tidak sengaja di tabrak anak laki-laki sambil berlari. Buku-buku yang dibawanya terjatuh. Sebagai anak yang baik aku segera menghampiri dan menolongnya ikut membereskan buku dan kertas yang berserakan.
“Terima kasih, kamu siswa yang baru masuk?”
“Iya.”
“Kita bisa berteman dong. Aku juga siswa baru semester pertama.”
“Tentu.”
“Eh kamu ngambil fakultas apa?”
“Aku kedokteran.”
“Kalau aku hukum.”
Kami terus bercerita sampai dalam perjalanan menuju kelas masing-masing yang bersebelahan. Tak disangka keberuntungan memihakku. Aku satu kelas dengan Reyhan. Tempat dudukku bersebelahan dengan tempat duduknya Rey. Memang dulu kami tidak pernah sekelas sewaktu SMA, tapi setidaknya kelasku dan dia bersebelahan juga.
Dosen mengabsen kami satu persatu, dan akhirnya giliranku yang dipanggil, akupun menjawab dengan kata hadir. Tiba-tiba muka Rey melihat ke arahku.
“Hey, kita kan dulu pernah satu SMA ya kan. Hah ... beruntung aku punya teman yang bisa diajak bicara.”
Aku hanya diam, sudah lama aku tidak berbicara dengannya. Entah kenapa aku seperti berubah 180 seperti bukan diriku saja yang biasanya berani bicara. Bahkan sewaktu SMA aku dinobatkan menjadi juara lomba debat antar SMA. Dan seharusnya aku satu kelompok dengan Rey. Tapi Rey telah dipindahkan untuk mengikuti lomba lari jarak jauh.
“Ehm, tapi kenapa ya waktu pendaftaran kita tak bertemu?”
Ya iyalah kamu kan masuk kesini karena PMDK sedangkan aku tidak, jelas saja tidak bertemu. Lagipula hari pendaftaran bukan hanya satu hari tapi tiga hari di gedung seluas ini, ya mana mungkinlah. Ucapku dalam hati.
“Oh aku lupa, aku didaftarin lebih dulu. Jadi mana mungkin kita ketemu.”
“Kamu sama aku aja ya.”
“A ... apa.”
“Maksudku kita sering ngobrol-ngobrol aja. Anak-anak disini kurang asyik, tidak seperti di SMA.”
“Aku kira apaan.”
“Apa kamu bilang?”
“Ha ... tidak, tidak apa-apa.”
“Kalian dari tadi saya perhatikan ngobrol terus.”
“Rasain lo, dari tadi ngobrol terus”, kata pemuda yang bernama Martin yang duduk di depan Rey.”
“Apa katamu, rasain ... apaan tuh”, ucap Rey dengan tenang sambil berjalan ke depan.
“Martin, kenapa sih dari SMA kamu selalu nggak bisa akur sama Rey?”
Sebenarnya ini karena kamu Al, aku tahu sejak dulu kamu suka sama Rey. Dan itu semakin membuatku terluka, ucap Martin dalam hati.
Rey sudah berada di depan white board dan spidol di tangan kanannya.
“Kerjakan soal matematika di depanmu dan terserah kamu mau mengerjakan soal yang nomor berapa.”
“Nggak Pak, Rey akan mengerjakan semua soal tersebut.”
“Martin, diam, apa kamu yang ingin mengantikan Rey mengerjakan soal ini.”
“Tidak Pak.”
Tiba-tiba semua anak dikagetkan karena Rey bisa mengerjakan soal yang baru saja diterangkan bahkan Rey juga tidak memperhatikan soal yang diajar dosen. Rey langsung berjalan kembali ke tempat duduk. Pak dosen pun tercengang, soal yang belum diajarkan pun bisa ia jawab dengan mudah. Bel tanda selesai pelajaran berbunyi, anak-anak segera keluar dari kelas.
“Mudah kan, aku tidak perlu bantuanmu mengerjakannya karena aku bisa, bahkan kamu pun belum tentu bisa mengerjakannya.”
“Rey, tunggu.”
“Ya, Pak, ada apa?”
“Kamu pintar sekali ya, mengerti apa yang Bapak ajarkan walaupun kamu seperti ogah-ogahan bila sekolah.”
“Tidak semua apa yang kita lihat persis seperti yang kita bayangkan.”
“Tunggu dulu.”
“Tapi lain kali Bapak bisa mengalahkan kecepatan motormu itu.”
“Baiklah Pak, aku tunggu.”
***
Waktu istirahat masih banyak dan aku bersama Deasy akan pergi ke perpustakaan terlebih dahulu. Mencari bahan materi yang akan dijelaskan nanti. Jarak dari tempat kami berada dengan perpustakaan sekolah 1 km. Kami lebih memilih berjalan kaki karena lebih sehat dan juga mengirit ongkos. Aku dan Deasy bercerita tentang hal yang terjadi saat jam pertama tadi.
“Siapa namanya?”, Deasy penasaran dengan ceritaku.
“Rey.”
“Rey, maksudmu.”
“Reihan, dia teman satu SMAku.”
Rey, apakah yang ia maksud Reihan Eka Arjuna, ucap Deasy dalam hati.
***
Sampailah kami di Perpus Semar.
“Al, kamu duluan aja, aku mau habisin minumanku dulu.”
“Oh ya udah, aku tunggu kamu di dalam.”
“Rey!!!”
“Sssttt!!!”
“Maaf Bu.”
“Rey, kamu disini dari tadi?”
“Ah ... nggak, barusan.”
“Ternyata kamu rajin juga ya, makanya kamu bisa ngerjain soal sesulit tadi.”
“Ehm ... biasa saja.”
“Jadi kamu sering ke perpus?”
“Kadang-kadang, kalau aku lagi mood. Lagi pula waktu istirahat masih lama, jadi lebih baik aku di perpus mengerjakan soal-soal atau baca-baca.”
“Oh begitu rupanya.”
Beberapa saat kemudian.
“Al, aku cariin dimana-mana, ternyata kamu ... “
Tidak tahu kenapa, Deasy berhenti bicara saat melihat Rey. Aku menjadi semakin bingung.
“Rey, kamu kenal Deasy?”
Rey tidak menjawab pertanyaanku, dia buru-buru pergi dengan langkah sedikit sempoyongan seperti mau pingsan. Sesampainya di depan pintu masuk, dia jatuh pingsan. Aku dan Deasy bersama teman-teman yang lain segera membawa Rey ke ruang UKS. Aku segera meminta penjelasan kepada Deasy tentang apa yang sesungguhnya terjadi. Akhirnya Deasy mau menceritakannya.
“Aku adalah teman Rey saat SMP, tiga tahun berturut-turut kami satu kelas. Sehingga aku sudah tahu siapa Rey sebenarnya. Rey dilahirkan di keluarga Arjuna, itu sebabnya belakang nama Rey adalah Arjuna. Rey juga mempunyai seorang saudara, tepatnya saudara kembar bernama Reyhan Dwi Arjuna. Bukannya Rey nama tengahnya adalah Dwi.”
“Ya, aku sudah menebak sebelumnya. Kalau Rey pasti punya saudara. Tapi sekarang saudaranya berada dimana?”
“Reyhan Dwi sudah meninggal sekitar empat tahun lalu.”
“Ya ampun.”
“Dia bunuh diri loncat dari gedung atas sekolah.”
“Saat itu aku lagi bersama temanku di kantin. Tiba-tiba ada ribut-ribut kalau ada anak yang mau bunuh diri loncat dari gedung sekolah paling atas.”
“Aku juga melihat Reyka (Reyhan Eka, panggilan saat SMP) berlari menuju gedung atas dengan menaiki tangga dengan terburu-buru.”
“Aku segera keluar gedung dan melihat ke atas gedung, benar-benar tak kusangka Reyhan, Reyhan Dwi orang itu.”
“Seluruh siswa panik, mereka ketakutan, Reyka yang sudah mencapai atas ternyata terlambat menyelamatkan adiknya itu. Dan dia segera turun menuju tempat di mana tubuh saudaranya itu tergeletak tanpa nyawa. Dia frustasi, depresi. Satu-satunya orang yang dia sayangi di keluarga telah meninggal.”
“Waktu berumur dua tahun, dia sudah piatu, sedangkan Ayahnya menitipkan mereka berdua pada paman mereka. Sejak itu Ayahnya tidak pernah mengunjunginya. Menelponnya pun tidak pernah. Menurut Reyka, Reyhanlan satu-satunya keluarga yang paling dicintai setelah Ibu mereka.”
“Tapi kenapa saat dia melihatmu, dia langsung pingsan?”
“Karena aku adalah pacar Reyhan, adik Reyka.”
***
Sayang, kenapa mukamu cemberut, di sekolah tidak terjadi apa-apa kan?”
“Mah ...”
Aku menceritakan semuanya kepada Mamah tentang Rey dan Deasy.
“Kasihan ya Rey itu, kehilangan orang-orang yang disayangi, coba kamu hibur dia.”
“Ya Mah.”
***
Haripun berganti, seperti biasa waktu berangkat sekolah, aku diantar oleh Pak sopir sampai di pintu gerbang.
“Makasih ya Pak.”
“Sama-sama, Non.”
Tiba-tiba, saat aku jalan, ada seseorang yang menahanku.
“Putri cantik, ijinkan aku mengantarmu sampai ke dalam istana.”
“Martin, ada-ada aja, kaget tau.”
“Kalau begitu maaf, tapi apakah tuan putri bersedia?”
“Ya ... baiklah.”
Sebuah motor gede berhenti tepat di sebelah motor Martin.
“Permisi, Al, kau sudah berjanji kan, mau bersamaku terus, waktu kita ketemu?”
“Oh ya, kamu masih ingat aja.”
“Aku tidak mungkin melupakannya begitu saja.”
Aku segera naik, bonceng motornya Rey. Martin tidak seperti biasa tidak melakukan perlawanan.
“Bagus Martin, kau sudah melakukan hal yang terbaik, biarkanlah mereka bersama karena mereka saling mencintai, walaupun sakit, tapi asalkan Rey bahagia, aku rela.”
“Aku juga, buat Al, aku rela melakukan apa saja. Tapi kenapa kau berbohong tentang dirimu Des kepada Al bahwa kau pacar Reyhan Dwi, padahal kau pacar Reyhan Eka.”
“Aku terpaksa, jika tidak mereka takkan bersatu.”
“Kita berdua bisa jadi bayangan mereka, ya kan.”
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar