Custom Search

Kamis, 05 Februari 2009

Sesuatu yang Berbeda Oleh Nama : Oktaviana E. X2

Terinspirasi dari karya Teater Margin

Bunyi malam yang sunyi menusuk telinga. Malam ini aku tiba di rumah se orang leleki yang selama 10 tahun telah meninggalkan Ibu sendiri. Aku terpaksa menemuinya, aku sangat terpaksa. Kalau saja bukan Ibu yang menyuruhku kemari, aku tak kan sudi menginjak rumah leleki hina ini. Sudah 15 menit aku menunggu di ruang tamu.

“Akh lebih baik aku pulang saja”. Baru saja ku langkahkan kaki kananku, tiba-tiba.

“Hei!apa kabar kau?”. Suara itu muncul dari balik pundakku dan ketika itu pula dia memegang pundakku serta berlaga akrab denganku. Padahal aku najis melihatnya ,bagai belatung yang bergelantungan di tubuh kuntilanak, dan enggan berbicara dengannya, bertatap muka pun aku tak sudi.

“Minggir kau! Jangan pegang- pegang pundakku!”

“Kau harus ingat! Bagaimanapun aku tetap saja ayahmu, benar bukan?”. Aku tak mengerti mengapa dia bisa berpikir sependek itu, aku memang anaknya tapi aku selalu hidup bersama Ibu, susah, senang, kita selalu bersama. Ibu selalu berusaha untuk mencukupi kebutuhan kita, Ibu, selalu, dan selalu. Aku tak penah berharap ada seorang ayah, dan tiada siapapun yang dapat menggantikan posisi Ibu, tak ada siapapun pula yang bersamaku selain Ibu.

“Aku akan bertanggung jawab atas kehidupan kalian, berpapun akan ku ganti!”. Enak sekali pikirnya, dia seolah berkuasa atas segalanya.

Kemarin sore bertemu dengan Ibu di supermarket dan hanya memberi selembar kertas kecil yang bertuliskan namanya ‘Broto Sugiarto’, alamat rumah, dan nomer teleponnya. Saat dia bertemu pun dengan istrinya yang sekarangbekerja diperusahaan ternama di Jakarta. Dan Ibu hanya diakui sebagai sahabat pena di SMA. Ibu hanya bisa menangis dan mengeluskan dadanya yang tak kuasa. Begitu sakitnya selama 10 tahun ditinggalkan dan saat kanangan semuanya terlupakan.

Sekarang, melihat dia bersenang- senang dengan wanita lain. Teramat pedih penderitaannya, aku tak tega ketika melihat ibu merenung, menangis, dan menangis lagi, dan lagi.

“Mas!”. Kata sapaan itu datang dari seorang wanita berasal dari depan. Wanita itu bertubuh seksi, aduh hay, dan sepertinya bukan istrinya, karna sangat berbeda sekali dengan foto pernikahan yang berukuran 1x2meter di sebelah utara itu. Benar- benar berbeda. Istrinya itu langsing, tubuhnya berwarna kuning, dan terlihat hitam rambutnya. Sedangkan wanita ini badannya sedikit gemuk, kulitnya sedikit gelap pula. Polesan wajahnya sangat menor, tak seperti wanita yang sewajarnya. Tingkah lakunya sangat genit, seperti wanita malam yang kesunyian.

“Saat ini aku tak bisa menemanimu, maafkan aku sayang!”,”Lebih baik kau pulang saja, tak tepat sayang!”. Kata- kata itu juga membuat hatiku sakit, aku sungguh bisa merasakan yang ibu rasakan. Aku sungguh tak tega, ketika Ibu melihat semua yang dilakukan lelaki pujaannya itu. Sungguh- sungguh perbuata yang teramat keji.. Wanita itu pun akhirnya pulang dengan kecewa.

“Kenapa kau lakukan semua ini? Kalau aku wanita, pasti aku akan dijadikan budak, seperti budak-budakmu yang lain”. Pertanyaankku ini tak sepatah kata pun terjawab. Aku bertanya lagi, dan barulah ia menjawab. “Aku ingin menikmati dunia degan para wanita- wanita yang bisa menghiburku, memang aku tidak mencintainya tapi aku hanya ingin kepuasan, aku tak peduli apapun tantangannya”. “Lalu kau tak puas dengan Ibu, dan isterimu itu?”tanyaku lagi. “Sesungguhnya aku benar-benar mencintai Ibumu To, tapi dulu ayah tak sanggup melawan lawan-lawan ayah yang mencintai Ibumu pula, karena itu ayah pergi dan mencari wanita kaya raya untuk dinikahi dan aku hanya ingin wanita- wanita malam itu menghiburku karena istriku jarang pulang, sesungguhnya ayah ingin hidup bersama ibumu, tapi keadaan seperti ini tak mememungkinkan, aku ingin membuat ibumu bahagia, dan tak mungkin aku menykiti anakku sendiri”jawabnya.

“Cepatlah berganti pakaian dan berdandan yang selayaknya!”. Enak sekali di berbicara seperti itu. Aku tak ingin berpakaian pria aku lebih suka memakai pakaian seperti yang Ibu kenakan. Pria hanya bisa melukai perasaan wanita, aku tak ingin menyakiti wanita, aku tak ingin seperti lelaki hina itu. Mulutnya digunakan untuk rayuan manis, aku tau dia berbohong padaku, kalau ingin membahagiakan ibu, pasti dilakukan, dan tak akan menghianatinya seperti ini. Lidah yang tajam tapi tak benar. Aku tidak mau menjadi pria, pria itu kejam seperti dia. Satu-satunya penyebab aku masih dikatakan sebagai pria itu hanya penis yang masih bergelantungan di tubuhku. Kalau saja aku punya banyak uang pasti satu penyebab itu akan ku ganti dengan yang sama seperti ibu. Dia tak pernah merasakan sebagai wanita tang tersakiti, sesungguhnya aku ingin dia diusir oleh istrinya. Entah suatu apa yang diinginkan oleh Broto itu. Aku tak mengerti, apakah istrinya tak tau apa perbuatan yang selalu dilakukan lelaki itu? mungkin dia menggunakan dukun untuk menaklukan istrinya.

“Cepatlah berganti pakaian, dan dandananmu hilangkanlah!”serunya lagi. “Aku tak mau, dan aku tak ingin”jawabku. “Anak seperti apa kau ini!”bentaknya. “Kau harus ingat bahwa aku ini bukan anakmu, aku hanya milik ibu, dan aku hanya anak ibu, aku tak sudi menjadi anakmu! Aku bahagia menjadi seorang wanita, aku tak ingin tersakiti, dan aku tak ingin menyakiti”. “Diam kau! Kau tak tau apa-apa!”. Seolah dia menganggap aku bodoh, Ibu banyak bercerita tentang lelaki itu. Tentang cerita lalunya di SMA dulu, tentang cinta pertamanya bersama lelaki itu, tentang betapa baik dan romantisnya lelaki itu, dan penyesalan Ibu rela diperlakukan apasaja olehnya.

“Aku tak ingin bertengkar dengan anakku sendiri, sudahlah, aku ingin memikirkan masa depan kau dan Ibumu,kau harus sekolah nak!”. Dia hanya bisa berbicara, tak mungkin melakukannya, fakta yang bisa menjawab. Aku tak percaya, semua akan dilakukannya, ini cuma omong kosong.

Cirebon ini, memang kota dimana Ibu dibesarkan di panti asuhan ‘Bunda’, dan memulai percintaannya dengan Broto Sugiarto. Kota ini sunguh jahat. Tak punya rasa, hingga namakupun Anto tersisat namanya lelaki itu. ‘Ani’, nama ibuku adalah nama yang indah, sedangakan ‘Broto’ nama yang begitu menjijikan. Aku sungguh tak terima ini. Tapi aku tetap harus menghormati Ibu, selalu dan wajib menghormatinnya. Mengingat Ibu saat tak berdaya ditinggalkan begitu saja membuatku menangis, dia adalah wanita yang lemah, yang begitu tegar, amat baik, dan berusaha bersahabat dangan dunia, walau ku rasa dunia selalu kejam terhadapnya.

“Ku ingin anakku seperti lelaki yang wajar, bukan yang berbeda seperti ini! Lekaslah berangti pakaian!”. Dia menyuruhku lagi, menyuruh aku berganti di kamarnya yang berada di belakang foto pernikahannya itu.Dan aku tetap tak

mau, lalu dia akan menamparku. “Ayo tampar! Lebih baik aku pulang saja”. Dia tidak tega atau bagaimana sehingga aku tidak jadi ditampar.

“Aku pulang”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar