Custom Search

Selasa, 03 Februari 2009

Gavrillo Principe Oleh : Asri Vitadiani X-4

Ibuku sangat suka membaca buku-buku biografi penguasa zaman. Salah satunya adalah buku Petualangan Erasmus yang dikarang oleh seorang siswa SMP. Buku itu menceritakan tentang seorang penguasa sebuah negara yang mempunyai sifat yang amat kejam. Penguasa itu telah memporak-porandakan negaranya sendiri demi perang dengan negara lain hanya karena kesalahfahaman. Dia bahkan hidup selama 150 tahun!
Penguasa kejam itu bernama Erasmus Luchasevic. Karena itu adalah buku yang paling Ibu suka, beliau memberiku nama seperti nama penguasa kejam tersebut. Ya, namaku adalah Erasmus Luchasevic. Oh, Tuhan! Itu adalah bencana bagiku. Betapa tidak, teman-teman selalu mengejekku hanya karena namaku. Akupun menjadi dikucilkan karena namaku pula. Oh, Ibu. Nama,kan masih banyak di dunia ini selain ERASMUS LUCHASEVIC!
Orang tuaku sangat bangga dengan nama yang diberikannya padaku.
Suatu hari -seperti biasa aku menyendiri di pojok kelas duduk sendirian- seorang guru masuk memberitahukan pada siswa-siswanya bahwa ada anak yang akan menjadi warga baru di kelasku, kelas X-4. Perlu diketahui juga, sekolahku termasuk sekolah yang elit dan langganan juara di segala bidang.
Tak lama kemudian, seorang anak lelaki berperawakan kurus dan berwajah tampan masuk dengan menundukkan kepala. Dia terlihat malu-malu untuk memperkenalkan dirinya di depan kelas.
Dia menuliskan nama dan alamatnya di papan tulis dengan sangat rapi dan tulisannya besar-besar.
‘Namaku Gavrillo Principe. Aku tinggal di Jalan Sevicia no. 1’
Setelah itu, guruku mempersilahkan Gavrillo Principe untuk duduk di sebelahku. DI SEBELAHKU!!! Oh Tuhan! Aku tidak bisa membayangkan saat dia akan menanyakan namaku. Mungkin jika dia mengetahuinya, dia pun akan menjauhiku, mengucilkanku dan mengucilkanku seperti anak-anak lain.
Selama pelajaran berlangsung, Gavrillo tidak berbicara sedikitpun padaku. Apakah mungkin dia sudah mengetahui namaku dari teman-teman lain jadi dia menjauhiku dan tidak akan mau mengajakku berbicara? Namun itu tidak mungkin karena selama pelajaran berlangsung, dia tidak berbicara sedikitpun pada teman-teman.
Saat pulang sekolah, aku memberanikan diri untuk mengajaknya berbicara. Ternyata, dia adalah anak yang sangat ramah dan humoris. Namun, saat dia menanyakan namaku, tiba-tiba dia terdiam. Sepertinya dia memikirkan sesuatu. Tiba-tiba dia mengatakan bahwa itu adalah nama yang hebat. Nama yang keren, katanya.
Aku lega mendengarnya. Dia tidak menjauhi ataupun mengejekku. Malah, lama kelamaan kami menjadi sahabat karib terkompak di dunia. Mungkin. Aku senang sifatnya yang humoris.
Suatu hari, tiba-tiba dia bercerita padaku bahwa dia punya sebuah alat untuk kembali ke masa lalu. Alat itu adalah warisan dari Kakeknya yang telah wafat. Namun dia tidak berani untuk menggunakannya. Karena kata Kakeknya, alat itu sangat berbahaya.
Namun aku sangat ingin menggunakan alat itu untuk mencegah Orangtuaku memberiku nama Erasmus Luchasevic. Namun mungkin akan lebih keren lagi kalau aku bisa membuat Erasmus Luchasevic menjadi orang baik-baik. Namun mungkin jika aku tiba lebih awal lagi, aku akan mencari tahu mengapa dia bisa hidup sangat lama. Benar-benar mengasyikkan. Semakin lama dipikir semakin asyik.
Ternyata, Gavrillo pun mempunyai pemikiran yang sama denganku. Dia ingin sekali kembali ke masa lalu untuk bertemu dengan Ayahnya yang tewas ditembak oleh salah seorang penggemarnya.
Ternyata, Ayah Gavrillo dulunya adalah seorang presiden yang bijaksana dan sangat disegani rakyatnya. Pada saat Ayahnya sedang menerima penghargaan, tiba-tiba sebuah peluru meluncur bebas tepat ke arah dada beliau. Ajal pun tak bisa dihindarkan. Ayah Gavrillo meninggal seketika sebelum dilarikan ke rumah sakit.
Maka dari itu, dia ingin mencegah Ayahnya agar bisa terhindar dari tindakkan penggemarnya itu. Namun sekali lagi, dia tidak berani untuk menggunakan alat itu.
Hari Jumat siang -seperti biasa aku pulang bersama dengan Gavrillo- aku berkata pada Gavrillo bahwa aku ingin sekali menggunakan alat warisan Kakeknya itu. Karena Gavrillo juga ingin menggunakannya, kami memutuskan untuk mencobanya nanti malam di rumah Gavrillo. Aku akan menginap di rumahnya untuk sekian hari sampai percobaan kami selesai.
Malam yang kutunggu-tunggu tiba. Aku bersepeda menuju ke rumahnya yang tidak jauh dari rumahku. Rumah yang menjulang tinggi, mewah dan bergaya Eropa Klasik itu menyambutku.
Tak lama setelah mengagumi rumahnya yang amat sangat mewah, aku sudah berada di kamar Gavrillo yang Berwarna biru muda dan berhiaskan nuansa laut lepas. Aku duduk di kasur pink-nya yang empuk dan mulai merakit alatnya sesuai petunjuknya bersama-sama. Kami melakukannya dengan cermat agar hasilnya sempurna.
Dua jam telah berlalu, kami hanya tinggal memasang baut terakhir. Kami memasangnya dengan hati-hati dan mengecek keseluruhan alatnya apakah sudah sempurna apa belum.
Perfect. Sempurna. Tinggal menyambungkan alat itu ke kontak listrik.
Aku bagian menancapkan salah satu kabel alat itu ke kontak listrik. Aku sangat berdebar melakukannya.
“Clepp”
Tiba-tiba terlihat cahaya amat terang datang dari alatnya. Warnanya merah, bercampur jingga, bercampur kuning, bercampur hijau, bercampur biru, bercampur nila, bercampur ungu. Sangat menawan namun menakutkan.
Alat itu mengeluarkan bunyi yang aneh. Mirip dengan desingan. Amat memekakkan telinga. Kami mendekati alat itu dengan perlahan.
Tiba-tiba
.Gelap.Terang.Gelap.Terang.Gelap.Terang.Gelap.Terang.Gelap.Terang.
Aku berada di sebuah tempat yang sangatlah kumuh, bau, kotor dan menjijikan. Mungkin kini aku berada di sebuah zaman penjajahan. Karena, dimana-mana terdapat tulisan yang bertuliskan ‘BEBASKAN KAMI’ atau ‘BELANDA EDAN’ atau ‘xxbxy@#%#@ahkmjnj&#%%$@hdsigfhyg##@$%^&*()!!!!!!!’ dan lain-lain di dinding-dinding bangunan yang hancur sebagian, atau di jalan raya atau di kain-kain yang dipajang di tembok dan masih banyak lagi.
Jalanan itu sangat sepi. Lengang. Tidak mengasyikan. Dan juga diluar rencana.
Aku ingin kembali namun tak tahu caranya. Tiba-tiba melintas segerombolan mewah yang lewat persis di depanku. Usut punya usut, ternyata itu adalah Ratu Belanda yang sedang mengawasi kerja para bawahannya dalam hal menjajah Indonesia.
Saat aku sedang memandangi mereka, aku ditubruk oleh seorang bapak tua yang kurus. Dia membawaku ke tempat aman. Yaitu di dekat tempat tidur para pekerja rodi. Dia menanyaiku oleh banyak sekali pertanyaan. Ternyata dia menyelamatkanku dari para tentara Belanda yang kejam. Mereka tak akan bisa membiarkan salah satu orang saja berdiri di dekat kereta Ratu Belanda yang sedang lewat. Siapapun mereka, pasti akan kena tembak oleh pistol ‘revolvernya’.
Aku sangat tersentuh oleh keadaan kesehatan mereka. Mereka semua kurus sekali. Mereka hanya diberi makan 1 kali sehari dan itupun makanan sisa dari tentara Belanda. Mereka membolehkan aku untuk tinggal bersama mereka. Aku tinggal di sebuah ruang kamar yang mirip penjara berukuran 3x4 meter dan berisi 10 orang. Sempit.
Tiap malam, aku menceritakan beberapa cerita perjuangan dari masa depan, yaitu masaku. Dan juga aku bercerita tentang keadaan masa depan. Mereka selalu menangis mendengarkan ceritaku. Tiap malam juga aku selalu memberi mereka semangat agar tidak mudah menyerah dalam keadaan apapun. Dan juga mengatur strategi untuk melawan Belanda.
Tak terasa, aku sudah tinggal bersama mereka selama 1 bulan dan aku pun merasakan kepedihan hati yang mendalam karena kerja paksa dan penjajahan yang dilakukan Belanda. Badan kami penuh luka bekas pecutan dan lebam bekas pukulan tentara Belanda.
Namun, hal itu tidak menyurutkan semangat kami untuk terus mengatur strategi untuk melawan Belanda. Biasanya, aku selalu teringat oleh Gavrillo sahabat karibku pada saat aku mendapatkan makanan. Aku khawatir dia tidak bisa mencari makanan ataupun tempat tinggal. Aku menangis membayangkannya.
Pada malam hari, kami makan makanan sisa tentara Belanda.
Ingin muntah rasanya.
Esok harinya, aku mendengar ribut-ribut diluar kamar penjara. Aku segera bangun untuk melihat apa yang terjadi. Aku sangat terkejut oleh apa yang terjadi.
Aku bersimpuh melihat genangan darah baru yang terbentuk.
Aku menangis sejadi-jadinya.
Menangis.
Menangis melihat apa yang terjadi.
Menangis.
Aku melihat proses terbunuhnya seorang lelaki tampan yang tak lain adalah sahabat karibku sendiri. Ya, Gavrillo Principe. Dia adalah satu-satunya sahabat yang aku punya. Sahabat yang mengerti aku. Sahabat yang tidak pernah meninggalkan aku saat berjalan bersama. Satu-satunya orang yang tidak mengucilkanku selain orang tuaku.
Dada Gavrillo memuntahkan banyak sekali darah. Dia ditembak oleh tentara Belanda karena dia bersikeras ingin masuk ke kamar penjaraku karena dia tahu aku di sana. Aku langsung berlari ke arah dimana dia dibunuh.
Aku bersimpuh disebelahnya. Kupangku kepalanya ke arah kakiku. Dia masih bernafas. Tersengal-sengal.
Dia berkata bahwa dia gagal mencegah Ayahnya terbunuh dan dia meminta maaf padaku karena telah membuatku menderita seperti ini. Dia memberiku seuntai liontin perak yang amat indah. Dia bilang, liontin itu dapat membawaku pulang ke masa depan.
Aku berterimakasih pada Gavrillo. Dia menangis dan menghembuskan nafas terakhirnya saat menjabat tanganku.
Aku berteriak.
Berteriak sejadi-jadinya.
Aku sangat sedih kehilangan sahabatku satu-satunya. Aku lemas melihat genangan darah yang terbentuk dari dada Gavrillo semakin banyak.
Setelah puas memandangi Gavrillo, aku membuka liontin itu dan tiba-tiba.
Gelap.Terang.Gelap.Terang.Gelap.Terang.Gelap.Terang.Gelap.Terang.
Aku berada di kamarku sendiri. Kamarku yang hangat, yang terdapat ber-rak-rak buku. Suram tapi familier.
Aku capai. Capai sekali. Aku terlelap. Terlelap jauh sekali. Pening
Esok paginya, Ibu mengatakan bahwa ada seseorang yang menunggu di ruang tamu. Aku bingung. Namun aku segera ingat bahwa kini aku telah pulang ke masa depan. Ke rumahku.
Kulihat, seseorang yang tampan yang sangat kukenal duduk manis di sofa merahku. Dia adalah Gavrillo. Ya, Gavrillo Principe. Sahabatku. Sahabat karibku satu-satunya. Dia tersenyum manis dan lebar sekali sambil mengatakan “Hay”

1 komentar: