Custom Search

Selasa, 03 Februari 2009

HINGGA AKHIR WAKTU

Oleh: Aulina;X-1

Suasana malam itu begitu mencekam. Hujan turun dengan derasnya, sambil disertai angin yang begitu kencang serta petir yang menyambar-nyambar. Sehingga dapat membuat bulu kuduk berdiri. Pada malam yang mencakam itu, sepasang kekasih sedang terlibat pertengkaran yang luar biasa karena suatu masalah yang sebetulnya sepele. Sang lelaki pun pergi mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi di tengah derasnya hujan. Tiba-tiba ketika suara petir menyambar . . .
“DUAR . .!!”
“Citttttttttt. . . .Brak. . .”
Sang lelaki itu pun mengalami kecelakaan yang sangat hebat. Ia menabrak pembatas jalan, lalu terpental ke arah depan. Warga yang melihat kejadian itu pun langsung membawanya ke rumah sakit. Tapi usaha itu sia-sia, karena lelaki itu telah meninggal dunia akibat banyak mengeluarkan darah saat perjalanan menuju rumah sakit. Pihak rumah sakit dan kepolisian pun segera megabarkan keluarganya.
“Kring . . .Kring . . . .Kring . . . .Kring. . . .”
“Siapa sich malem-malem telpon. Vian kemana lagi belum pulang-pulang . . .”
“Halo, assalamu’alaikum. . .”
“Wa’alaikumsalam, apakah benar ini kediaman saudara Viandra Dwi Prasetyo.”
“Oh ya benar, tapi Viannya belum pulang. Ini dari siapa ya? Dan ada keperluan apa mencari anak saya?”
“Maaf bu, kami dari kepolisian mau mengabarkan bahwa anak anda saudara Viandra mengalami kecelakaan dan nyawanya tidak dapat tertolong lagi.”
“Apa!!! Maksud bapak Vian. . .”
“Iya bu, saudara Viandra telah meninggal dunia. Ia kini berada di rumah sakit Ananda.”
“Terima kasih pak. Saya akan segera kesana.”
Pagi harinya, hujan masih mengguyur kota Yogyakarta namun lebih kecil daripada tadi malam. Dan sepertinya hujan akan terus menerus turun, karena diperkirakan hujan akan terus menguyur kota Yogyakarta khususnya Klaten. Dan pagi itu juga Alin berniat akan berkunjung ke rumah kekasihnya untuk meminta maaf karena kemarin malam ia tidak bisa mengontrol emosinya sehingga ia meluapkan kemarahannya kepada kekasihnyanya karena kesalahpahaman yang sepele. Sesampainya di rumah kekasihnya itu. . .
“Kok ada bendera putih sich”, tanya Alin dalam hati ketika masuk ke dalam rumah Vian, kekasihnya itu.
“Kok banyak orang pake baju item-item”, tanya Alin lagi sambil melihat keadaan di sekitar rumah Vian. Hatinya terus bertanya-tanya, mengapa di rumah kekasihnya itu suasananya sangat aneh. Banyak orang yang berdatangan sambil memakai baju hitam seperti orang mau melayat orang meninggal, di depan rumah kekasihnya juga ada bendera putih yang berarti duka. Setelah Alin keluar dari mobilnya, ia baru tersadar bahwa mobil ayahnya pun ada disana.
“Lho kok mobil ayah ada disini, tapi kenapa ayah ama bunda gak bilang mau kesini. Apa di rumah Vian ada yang meninggal? Tapi siapa? Kayaknya setahuku Vian cuma tinggal papah mamahnya terus sama kakeknya juga. Apa jangan-jangan . . .” kemudian Alin langsung berlari menuju ke dalam rumah Vian. Dan ketika ia sampai, Alin melihat semua keluarga Vian menangis. Tetapi ia sama sekali tidak melihat Vian disana.
“Tante, bunda. . .”, Alin memanggil ibunya dan Ibunya Vian dengan suara lirih.
Ibu dari kekasihnya itu pun menengok ke arah Alin dan langsung berlari ke arah Alin. Lalu setelah itu memeluknya.
“Alin sayang . . .”, katanya dengan suara yang lirih pula.
“Kenapa ada bendera putih didepan tante. Bunda, Ayah sama Mas Ardhi kok juga ada isini. Siapa yang meninggal? Oh ya, Viannya mana Tante?”, tanya Alin kepada ibu dari kekasihnya itu.
“Yuk, sini ikut tante”,ajak ibu Vian sambil menarik tangan Alin.
“Kok foto Vian disini sich tante. Vian mana . . .? Ini sia. . .”, belum selesai Alin bertanya, kain yang menutupi wajah sesosok manusia yang terbujur kaku diatas tempat tidur itu dibuka oleh kakak lali-laki Vian.
“Vian udah diambil sama Allah sayang. Vian sekarang udah meninggal....”, jawab Ibunya yang kembali meneteskan air matanya sambil memeluk Alin.
Alin yang tidak percaya melihat Vian yang terbujur kaku terbaring di atas tempat tidur langsung menangis sambil melihat wajah Vian yang pucat.
“Gak mungkin, ini semua gak mungkin. Ini bukan Vian. Vian masih hidup. Vian masih hidup. Gak mungkin !!!!!!”, teriak Alin sambil terus meneteskan air matanya.
“Sayang, itu benar Vian. Kata tante Ranti tadi malam Vian mengalami kecelakaan yang sangat hebat. Tetapi ketika akan di bawa ke rumah sakit yang terdekat, nyawanya sudah tidak bisa tertolong lagi. Bunda juga gak percaya. Tapi ini kenyataan sayang”, kata ibu Alin menjelaskan.
“Vian, kenapa kamu pergi ninggalin aku. Tadi malem aku kebawa emosi. Jadi aku marah-marah ama kamu. Aku gak bermaksud untuk marahin kamu. Aku gak bermaksud. . . . .Hiks. .Hiks. . . kenapa kamu pergi sich. . .? aku masih mbutuhin kamu disini. . . Vian . . . . Kenapa kamu pergi . . . Hiks. .hiks. . ., Bruk”, Alin pun jatuh pingsan.
Saat pemakaman pun Alin terus menerus menangis. Sampai pemakaman Vian selesaipun Alin tidak mau pulang. Alin sangat terpukul oleh kepergian kekasihnya itu karena mereka selalu berjanji untuk tidak meninggalkan satu sama lain. Ia sangat merasa bersalah kepada kekasihnya itu, karena sebelum kecelakaan itu terjadi mereka berdua terlibat pertengkaran yang hebat sehingga kekasihnya itu mengendarai kendaraannya di luar batas normal. Ia sangat kehilangan semangat hidupnya setelah kekasihnya itu pergi. Alin tidak mau makan minum ataupun berangkat ke sekolah, jangankan makan keluar dari kamarnya ia tidak mau.
Semua keluarganya sangat cemas dan takut melihat Alin yang seperti itu. Namun bukan hanya keluarganya yang cemas dan sedih dengan keadaan Alin yang seperti itu, tetapi Vina, Ria, dan Rany yang merupakan sahabat Alin juga ikut merasakan kesedihan yang mendalam. Karena kekasihnya itu merupakan sahabat baik mereka juga. Setiap hari Vina, Rany dan Ria selalu berkunjung ke rumah Alin untuk menjenguk sekaligus membujuknya agar mau keluar dari kamarnya. Tapi hasilnya selalu nihil.
Waktu pun terus berlalu. Setelah satu minggu ia berdiam diri di kamarnya, akhirnya Alin keluar juga dari kamar kesayangannya itu. Matanya lebam karena terus menerus menangis, wajahnya keliatan pucat, dan pakiannya pun berantakan. Walaupun kini ia sudah mau keluar dari kamarnya, tetapi ia tetap tidak mau makan dan minum, berbicara pun hanya kalau perlu.
Alin yang dulunya ceria, murah senyum, dan selalu tegar dalam menghadapi masalah itu sekarang menjadi anak yang rapuh. Rapuh bagaikan tanaman yang tiba-tiba layu karena lama tidak dirawat dan disiram. Sikapnya kini menjadi berubah 180 derajat. Ia lebih senang menyendiri dan senang menangis. Keluarganyapun kini pasrah karena semua usaha telah dilakukan agar Alin kembali menjadi anak yang ceria.
Dua minggu kemudian, setelah ia pulang dari makam kekasihnya itu. Ia telah sadar akan sikapnya belakangan ini.
“Bunda, Ayah. . .” Ia memanggil ibu dan ayahnya, sambil menagis.
“Ya ada apa sayang. Oh ya, pasti kamu cape ama laper kan. Kita makan sama-sama yuk. Bunda udah masakin masakan kesukaan mu lho.”
“Iya, semuanya juga udah nunggu di ruang makan. Kamu makan dulu ya. Nanti kalo kamu gak makan kamu sakit lagi, Vian pasti sedih disana.”
Alin diam. Lalu langsung memeluk ibunya dengan erat sambil berkata “Bun, apa Vian udah maafin Alin. Vian kecelakaan kan gara-gara Alin.”
“Sayang, Vian pasti udah maafin semua kesalahanmu. Lagian kecelakaan itu bukan semata-mata karena kamu. Itu semua takdir yang udah di atur sama Allah. Mamah sama Papahnya Vian juga udah ngrelain Vian pergi.”
“Tapi, kalo malem itu aku gak marah-marah pasti Vian gak bakalan kayak gini.”
“Kami tau, tapi kamu gak boleh kayak gini terus. Dia disana pasti sedih banget liat kamu kayak gini. Terus bisa-bisa Vian marah lagi sama bunda sama ayah, soalnya kamu sakit gara-gara gak mau makan. Biar Vian gak marah sama bunda ma ayah juga sekarang makan dulu ya. .”
“Ya sayang, kami semua juga tahu kok kalau kamu sangat terpukul atas kepergian Vian, Vian juga udah bunda anggep sebagai anak bunda sendiri. Tapi sekarang kamu makan dulu ya, nanti kamu sakit lagi. Bener tuch kata ayah nanti Vian marah sama kami lagi gara-gara kamu sakit.” Jawab ibunya dengan lemah lembut sambil membelai rambut anak perempuannya itu.
Alin terdiam sejenak, lalu kemudian menganggukan kepalanya.
“Nah gitu donk. Itu baru anak bunda yang paling cantik. Ya udah yuk, udah ditunggu tuch.”
Sejak peristiwa itu terjadi, Alin berjanji pada dirinya sendiri. Bahwa ia akan selalu setia kepada kekasihnya itu. Walaupun kini kekasihnya telah pergi, ia akan terus ada di hati Alin sampai kapanpun.
Keesokan harinya Alin sudah masuk sekolah seperti biasa. Ia di antar oleh kakaknya yang satu sekolah dengannya. Alin pun disambut oleh teman-temannya.
“Akhirnya Lin, loe masuk sekolah juga”, kata Rony, yang menjadi ketua kelas di kelasnya itu.
“Alin, loe jangan sedih lagi ya. Kan masih ada gue disini. . .He..he..he”, ledek Ian.
“Hush, sembarangan. Cintanya Alin ke Vian kan sangat besar dan luas seperti gunung dan samudera. Ya gak Lin. . .”, Bela Rany.
“Iya, nich. Alin itu baru aja masuk, kalo besok dia ngambek lagi gak mau masuk. Loe bakal berurusan ama gue, tunggu aja Yan. Tangan gue pasti bisa melayang ke pipi loe itu.” Tambah Vina.
“Udah lah, masa cuma gara-gara itu kalian berantem sich. Alin kamu udah gak kenapa-napa kan? Walaupun kini Vian udah pergi, tapi dia selalu ada di hati kami. Dia juga kan teman kita. Jadi kamu jangan sedih terus ya”, bujuk Ria pada Alin.
“Aku rindu saat-saat kayak gini. Kalian pada berantem cuma gara-gara masalah kecil, kayak aku ama Vian aja. Lagian Vin aku juga gak bakal ngambek lagi kok. Karna aku udah janji sama diriku sendiri, aku gak mau liat Vian sedih gara-gara sifat kekanak-kanakanku. Aku juga gak mau jatuh cinta lagi, soalnya di hatiku Cuma ada Vian seorang.” jawab Alin.
Teman-temannya pun terdiam. Merekapun mempunyai pikiran yang sama. Alin tidak bisa melupakan Vian yang menjadi sahabatnya sejak taman kanak-kanak-kanak sampai SD kelas 6. Dan menjadi kekasihnya sejak kelas 2 SMP sampai kelas 2 SMA. Ia sudah seperti kakak dan adik yang selalu bersama. Dimana ada Vian disitu ada Alin, ataupun sebaliknya.
Suatu hari ketiga sahabat Alin mengajaknya ke sebuah tempat yang menjadi tempat favorit mereka. Tetapi Alin menolaknya, karena ia merasa tidak enak badan.
“Ayo lah Lin, sekali ini ja.. ..”
“Kita kan udah lama gak kesana. Aku mau nunjukin sesuatu sama kamu.”
“Sesuatu apa?”
“Dulu Vian pernah ngasih sesuatu sama kamu kan? Tapi kamu tolak, terus dia nyimpen barang itu di bawah pohon cinta kalian.”
“Kalung itu masih ia simpan.”
“Masih donk. Loe kan tau Vian orangnya gimana. . .Mau ya Lin..”
“Ya dech. . .”
Akhirnya Alin pun ikut bersama teman-temannya ke bukit bintang. Tempat favorit mereka untuk melupakan semua masalah. Sesampainya di bukit bintang. Ria langsung berlari menuju pohon cinta Vian dan Alin.
“Ini Lin. Kata Vian, kalo dia udah pergi duluan sebelum kamu kamu harus pakai kalung ini selalu. Dan nanti kalo kamu udah punya penggantinya dia kamu harus kasih kalung ini ke penggantinya itu.”
“Aku ga tau mau cari penggantinya dia apa enggak. Tapi saat ini aku masih setia ama dia. Vian akan ada terus di hatiku. Selamanya. . .”
“Iya aku tahu kok. Ya udah pake kalungnya gih. .”
“Thanks ya Ri.”
“Ya sama-sama. Ya udah kita pulang yuk, nanti kalo kesorean aku lagi yang dimarahin ama Bundamu.”
“Bentar lah, aku juga mau naruh kertas ini disini.”
“Apa tuch, puisi ya, liat donk.”
“Nich, tapi Cuma kamu yang tau ya. . .”
“Beres . . .”
Puisi yang dibuat Alin yang ditujukan untuk Vian itu berisi . . .

Jauh di dalam diriku
Kau tempatkan kemampuan untuk melihat apa yang tidak terlihat
Kau tempatkan sebongkah keinginan yang mengalir
Mengalir bersama mimpi yang berlari bersama jiwaku
Kau kenakan pada diriku sebuah gaun kerinduan
Yang disulam oleh para malaikat dari benang-benang pelangi
Lalu kau tempatkan di dalamnya sebuah kegelapan
Kegelapan yang tak terjalani sebuah cerminan yang bersinar terang
Karena kau kini telah pergi meninggalkanku
Sendiri di tengah dinginnya malam dan derasnya hujan

Setelah meletakkan puisi itu, mereka pun pulang kerumahnya masing-masing. Seperti biasa Alin pasti selalu menyempatkan diri pergi ke makam Vian. Entah itu untuk curhat ataupun hanya menabur bunga sambil berdoa.
Hari terus berganti. Kini Alin telah berubah menjadi anak yang selalu tegar, karena ia tidak ingin terpuruk terus menerus dalam kesedihan. Alin juga tidak ingin menyusahkan orang-orang yang ada didekatnya.
Waktu kini cepat sekali berputar. Dan sebentar lagi sekolah Alin, SMA Pelita Jaya, akan mengadakan ulangan akhir semester. Semua anak berlomba-lomba belajar, bekerja keras, sampai ada yang merelakan uangnya untuk memanggil guru les privat agar ulangannya nanti mendapat hasil yang maksimal. Begitu juga dengan Alin serta ketiga sahabatnya. Mereka selalu belajar bersama, tempat belajarnyapun bergiliran. Terkadang di rumah Alin, di rumah Ria, di rumah Rany dan kadang juga di kos-kosan Vina. Hari pertama ulangan dapat mereka tempuh dengan lancar begitu pun dengan hari-hari berikutnya.
Setelah ulangan akhir semester telah selesai dilaksanakan, Alin dan keluarganya berencana untuk pergi berlibur ke Bandung, yaitu ke penginapan milik saudaranya. Karena Alin dan kakaknya telah berjanji kepada sahabatnya masing-masing akan berlibur bersama, mereka pun mengajak para sahabat-sahabatnya. Alin mengajak Vina, Ria dan Rany, sedangkan kakak Alin mengajak Vino, Ryan, dan Dimas. Ayah, Ibu dan Adik Alin pergi menggunakan mobil kakeknya, sedangkan Alin dan kakaknya beserta sahabat-sahabatnya pergi menggunakan mobil yang lain.
Namun tanpa mereka sadari, ternyata Ria dengan Vino, Rany dengan Ryan, serta Vina dengan Dimas terlibat cinta lokasi. Benih-benih cinta itu tumbuh diantara mereka secara tidak sengaja saat baru pertama berkenalan. Menurut mereka ini adalah liburan yang menyenangkan, karena mereka dapat menemukan sosok cinta sejati yang telah mereka cari selama ini.
Hari Minggu pagi itu, cuaca benar-benar cerah. Alin dan kakaknya pergi berjalan-jalan di sekitar penginapannya. Lalu mereka pergi ke kebun teh milik tantenya. Ketika mereka sedang asyik melihat pemandangan tiba-tibaada yang menyerempet Alin dari belakang.
“Subhanallah, indah banget ya pemandangannya.”
“Iya . . andaikan bunda, Fiza, Eyang Putri, ama Eyang Kakung bisa liat ya mas. Oh ya, dulu waktu kita berlibur disini sama ayah aku pernah diajak ke sungai. Kalo gak salah letaknya di deket sini. Airnya jernih banget loh mas, sejuk lagi. Kita kesana yuk.”
“Ya udah yuk. Kita kesana aja. Lagian kalo kita pulang juga pasti liat orang pacaran.”
“Ih Mas Ardhi gitu banget sich. Mentang-mentang gak bawa Mba Nuri. He . . .” ledek Alin kepada kakanya yang langsung salah tingah.
“Tapi kayaknya sejak Vian pergi, mas gak pernah liat kamu deket sama cowok gitu?”, kakak Alin balik bertanya kepadanya.
“Aku gak mau jatuh cinta lagi mas. Aku takut jatuh cinta. Emang sich dulu aku pernah jatuh cinta tapi orang itu malah pergi ninggalin aku. Aku juga sampai sekarang belum bisa nglupain Vian secara keseluruhan. Lagian aku udah janji kalo aku gak bakal jatuh cinta sebelum aku bisa jadi orang sukses.”
“Sayang, aku tahu kamu pasti masih sedih kehilangan Vian. Tapi jangan siska batinmu dengan semua itu.”
“Ya aku tau kok mas. . .”
“Awas ! ! ! ! !”
“Aargh. . . . . . . . . . .Aduh.”
“Alin, kamu gak kenapa-napa kan. Heh loe kalo nyepeda pake mata donk. Tahu di depan ada orang juga, ditabrak aja.”
“Sory, sory, aku gak sengaja. Tadi aku keburu-buru.”
“Udahlah kak. Aku juga gak papa. Lain kali ati-ati ya mas.”
“Eh, tungggu dulu. Kayaknya aku pernah liat kamu dech. Tapi dimana ya?”
“Kamu Ardhi kan. Aku Aldi. Anak Is 2.”
“Oh, ya. Kok loe disini sich Al. Pulang kampung pow.”
“Ah gak kok. Cuma lagi liburan aja, kebetulan keluargaku juga lagi ada acara di Bandung jadi sekalian liburan dech.”
“Oh gitu. . .”
“Eh Dhi, ni ademu yang katanya pacarnya meninggal. Cantik juga ya . .Klo dia jadi pacarku boleh gak . . . Hehehe. .Kenalin donk”, kata Reza sambil berbisik
“Oh ya, aku sampe lupa kenalin de. Ini Aldi temen MP ku di sekolah. Al, ni adeku Alin.”
“Hai, lam kenal ya. Sory ya tadi aku nabrak kamu.”
“Oh, ya gak papa . . . .”
“Gimana kalo kita sekarang jalan-jalan bareng aja.”
“Sory mas, aku pulang duluan aja lah. Aku lupa kasih makan Cici, ntar kelaparan lagi.”
“Yach, kok pulang sich. Kan jadi cuma berdua gak asik”, keluh Aldi.
“Iya nich masa mas cuma berdua.”
“Sory ya mas.” Kata Alin sambil berlari pergi meninggalkan kakaknya dan Aldi sambil melambaikan tangannya.
“Loe mau ama adek gue. Kalo mau, aku yang gak sudi punya adek kayak loe. Playboy.”
“Ah loe, kayak gitu aja di buat beneran. Gue cuma becanda kok. Gue juga tau pasti di hati dia cuma ada pacarnya yang namanya Vian itu.”
“Lho, kok loe tau sich. Pacar adek gue namanya Vian.”
“Ya tau lah, , , soalnya kan kakaknya Vian temennya kakak gue. Dan gue kenal banget ama dia. Dia juga kalo curhat ama gue.”
“Kok bisa kebetulan gini ya. Alin juga sampe sekarang belum bisa nglupain Vian banget. Dia masih menganggap Vian itu hidup walaupun hanya dihatinya.”
“Ya gue juga ngerti kok. Gue juga pernh ngalamin itu dulu waktu pacar gue meninggal. Eh kok jadi curhat sich. . .Yuk kita ke vila gue aja, sambil ngobrol-ngobrol masalah MP.”
“Ya udah yuk. . . Oh ya, ntar gue mau ngomong sesuatu ama loe.”

Setibanya Alin di penginapannya, ia lalu memberimakan cici si kelinci putihnya itu. Vina, Ria, dan Rany yang tadinya sedang asik berduaan dengan pacar mereka itu segera menuju ke tempat Alin.
“Hei, habis dari mana aja nich. Kok kamu gak ngajak-ngajak sich. Kita kan juga pengen jalan-jalan.”
“Lin, kok diem aja sich.”
“Ri, Ran, Vin, apa aku salah gak ngebuka hatiku untuk cowok lain selain Vian? Kalian harus jawab dengan jujur lho.”
“Kok tiba-tiba loe ngomong gitu sich Lin. . .”, tanya Vina heran.
“Gak tau kenapa waktu tadi aku ketemu ama temen MP-nya kakakku aku ngerasa kayak Vian tu ada di depanku”, jelas Alin.
“Maksudnya?”, tanya Rany tidak begitu paham apa yang dibicarakan Alin.
“Tadi waktu aku jalan-jalan sama Mas Ardhi aku keserempet ama sepeda. Ternyata yang naik sepeda itu temen MP-nya kakakku. Tapi kayaknya dia tuch mirip banget ama Vian, bukan tampangnya yang mirip tapi kelakuannya. Selain itu juga kayaknya Vian ada disitu dan bisikin aku. Dia bilang,” kamu bakal bahagia sama dia, dia yang akan pakai liontin dariku “. Gitu katanya. Makanya aku tanya ama kalian apa aku salah gak ngebuka hatiku untuk cowok lain selain Vian?”, jelas Alin dengan terperinci.
“Menurut kita emang kamu salah menutup hatimu untuk cowok lain selain Vian. Kemarin waktu kamu bilang ke kita semua kalo kamu gak mau jatuh cinta lagi, karena cintamu cuma buat Vian kita ngrasa takut. Kamu juga kan masih punya cinta yang lain. Biarkan Vian tu ada di hati kamu, tapi jangan kamu nyakitin hatimu sendiri.”
“Bener Lin, kamu harus ngebuka pintu hatimu lagi. Siapa tau omongan Vian tu bener kalo temen kakakmu itu yang nanti jadi penggantinya dia.”
Alin terdiam sejenak. Ia masih bingung dengan apa yang dialaminya tadi sewaktu berjalan-jalan dengan kakaknya. Ia tiba-tiba merasa bahwa Vian ada di dekatnya dan mengatakan sesuatu yang ia tidak mengerti. Apakah yang sedang terjadi saat itu pada diri Alin.
Ketika malam menjelang, Alin pergi ke halaman belakang penginapannya sambil merenungi apa yang telah terjadi siang itu. Apakah benar yang di katakan oleh bayangan Vian. Apakah benar orang itulah yang akan menjaga Alin, menyayanginya dan membuatnya nyaman, serta membuatnya seperti berada di dekat Vian. Semua teman dan keluarganya tahu, bahwa ia sangat terpukul atas kepergian Vian dan sulit untuk melupakan sosok kekasih sejatinya itu.
“Apa bener yang dibilang Vian kepadaku, bahwa Mas Aldi yang akan menjadi pengganti Vian. . . Tapi kok bisa?”
Terus menerus Alin memikirkannya, sampai ia tertidur di bangku halaman belakang. Kakaknya yang tadinya ingin menghirup udara malam yang dingin di halaman belakang melihat adiknya itu tertidur pulas.
“Ya ampun, sampe tidur. Pasti kamu mikirin Vian lagi ya de. Kasihan banget sich, andaikan aja kamu mau membuka hatimu untuk orang lain dan bisa melupakan Vian. Kamu pasti gak bakal kayak gini”, kata kakak Alin sambil menggendongnya ke dalam kamar.
Keesokan harinya.
“Mas, Fiza ikut ke rumah mas Aldi donk. Fiza kan juga mau ikut jalan-jalan”, bujuk Fiza kepada kakaknya.
“Kamu ikut mba Alin aja. Dia kan juga mau jalan-jalan, kalo gak kamu ikut sama mas-mas and mba-mba yang asik berduaan terus tuch. Kan besok mereka udah pulang ntar gak ada yang digangguin lagi, makanya sekarang aja gangguinnya”, jawab kakak Alin.
“Udah lah, ajak aja sich kenapa. Adeknya kan juga mau ikut main Dhi”, kata Ibu Alin membela adiknya, Fiza.
“Ya nich, Ardhi pelit banget sich ama ade sendiri”, goda Vino dan Ryan.
“Sama adik sendiri aja pelit gimana ama kita yang cuma temennya. Ya tante . . .”, tambah Dimas.
“Oke, , oke . . . Ya Fiza boleh ikut, asal juga ikut Lin.”
“Apa, kok aku sich. Aku mau bantu bunda untuk nanti malem. Kita kan mau makan malem spesial.”
“Ya mba ikut ya. Nanti biar aku boleh ikut. Kan aku juga pengen belajar MP ama mas Aldi.”
“Ikut sana Lin. Biar gak sumpek di rumah. Daripada ikut kita belanja ama tante Asti and dikacangin. Mending ikut ama Mas Ardhi jagain Fiza”, ledek Ria, Vina, dan Rany.
“Ya dech. Tapi nanti jangan kelamaan lho mas.”
“Ya, tenang aja. Paling ampe jam 3 sore.”
“Gila, lama banget. . . .”, Alin kaget.

Ketiga kakak beradik itu segera berangkat menuju penginapan Aldi teman kakak Alin itu. Setibanya disana. .
“Tok . .Tok . . . Tok . . . Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam”, jawaban suara dari dalam rumah.
“Emang mas Aldinya ada di rumah pa? Biasanya kan pergi”, kata Alin pada kakaknya itu.
“Itu tadi yang ngejawab salam suaranya Aldi. Kemaren mas juga udah bilang ke dia kok. Gak mungkin dia pergi”, kata kakak Alin meyakinkannya.
“Bentar ya Dhi. Lagi nyari kunci dulu nich.”
“Tuch kan ada orangnya.”
“Cklk. .cklk. .”
“Hei, lama ya nunggunya. Gue tadi nyari kunci yang satunya, soalnya kuncinya di bawa ama bonyok gue. Yuk masuk, sory lho kalo berantakan.”
“Kok dia sifatnya mirip banget kayak Vian ya. Sukanya kalo ortunya pergi di kunci dari dalam rumah. Ah cuma perasaanku aja kok”, kata Alin dalam hati
“Tumben kalian bertiga biasanya cuma berdua ama Fiza, Dhi.”
“Ya nich, mas Ardhi yang nyuruh aku ikutkatanya sich suruh jagain Fiza. Oh ya mas kata mas Ardhi, mas Aldi punya komik banyak. Aku minjem boleh gak?”, tanya Alin kepada Reza sambil menenangkan diri.
“Oh ya, bentar ya. Mas ambil dulu. Ngomong-ngomong kalian mau minum apa nich?”, tawar Aldi.
“Udah lah gak usah repot-repot air putih aja. Oh ya, mana Mas Danunya Di. Biar sekalian kita latihan.”
“Tu, lagi ganti baju. Bentar lagi juga turun. Nich komiknya Lin. Gue bikin minuman dulu ya.”
“Makasih mas.”
Setelah minuman dan kakak Aldi datang, Kakak dan adik Alin diajak pergi oleh kakak Aldi ke kebun teh untuk melihat cara pemetikan daun teh. Alin dan Aldi ditinggal berdua di rumah Aldi. Mereka pun mengobrol-mengobrol sampai pada akhirnya.
“Lin, kamu suka banget ama komik ya.”
“Iya, dari dulu. Dulu Vian juga suka beliin komik buat aku. Mas juga seneng baca komik kan?”
“Sebenernya sich suka, tapi gara-gara komiknya di tinggal disini jadi sekarang jarang banget baca. Kamu masih sayang sama Vian.”
“Lho, mas kok . . .”
“Dulu mas juga kenal ama dia. Dia juga sering cerita ama mas tentang kamu. Mas juga yang sering nemenin dia cari komik buat kamu.”
“Oh ya. Kok bisa kebetulan gini ya. Aku sayang banget ama dia, tapi walaupun dia sekarang udah pergi dia akan terus ada di hatiku.”
“Pasti sekarang dia seneng banget punya pacar yang setia kayak kamu. Mas juga dulu pernah jatuh cinta sama cewek, ceweknya persis banget kayak kamu. Suka komik, cantik sopan, setia lagi. Tapi dia diambil ama yang diatas waktu dia ulang tahun.”
“Sekarang mas masih sayang ama dia?”
“Rasa sayang itu akan selalu ada sampai mas meninggal nanti. Mas juga ngrasa bersalah banget waktu itu. Itu gara-gara mas bukan cowok yang baik, masa sich pacarnya sendiri sakit mas gak tau sich. Aneh ya. . .”, jelas Aldi dengan meneteskan air matanya.
“Udah lah gak usah nangis. Jadi cowok gak boleh cengeng. Yang lalu biarlah berlalu, kita harus liat ke depan untuk melihat hari yang cerah. Kita gak boleh terpuruk terus dalam kesedihan. Pasti di sana pacarnya mas sama Vian udah tenang.”
“Iya kamu bener, makasih ya Lin. Oh ya gimana kalo besok pas udah pulang ke yogya, aku main ke rumahmu. Kamu suka komik kan, kebetulan masih banyak komik di kamarku. Kamu suka buku sastra gak?”
“Suka banget, mas juga suka pa? Kalo suka di rumahku juga banyak buku sastra.”
“Kebetulan banget, ya besok kalo kita udah masuk sekolah lagi aku pinjem ya. . .”
“OK dech. . .”
Dan semenjak itu mereka berdua berteman baik. Malah sepertinya lebih dari hubungan teman. Karena mereka selalu bersama kemanapun mereka pergi.
Keluarga serta teman-teman Alin pun ikut merasa bahagia. Karena akhirnya Alin dapat membuka hatinya untuk orang lain lagi, meskipun di dalam hatinya masih ada cinta untuk Vian.
Cinta memang sukar ditebak
Kadang ia datang dan pergi dengan sendirinya
Tanpa mengenal waktu, tempat dan suasana
Kadang cinta itu datang saat suasana kita sedih ataupun gembira
Kadang pula ia datang di tempat yang kita sendiri tidak mengetahuinya
Memang diantara mereka belum ada yang meyatakan cinta, tapi mereka yakin bahwa suatu hari nanti mereka akan berterus terang akan perasaannya masing-masing.
Hari itupun tiba.
Di hari ulang tahun Alin yang ke-17, Aldi membuat suatu kejutan yang mengharukan bagi Alin. . .
“Kini saatnya tiup lilin. Kita nyalakan lilinnya terlebih dahulu, namun sebelum itu. . . .”
“duar . . .”
Tiba-tiba lampu dirumah Alin mati, semuanya menjadi gelap gulita. Lalu ada seseorang yang membawa lilin untuk menerangi gelapnya malam itu di ruang tamu Alin. Seseorang itu berjalan menuju arah Alin sambil berkata
“Saat mentari pagi datang
Aku terbangun dari tidur lelapku
Berharap menemukan hari-hari yang indah dalam hidupku
Hari dimana aku menemukan orang yang aku cintai
Hari dimana semua orang tersenyum padaku
Bagiku cinta itu adalah segalanya
Karena cinta itu akan menerangi dikala aku resah dan rapuh
Tapi aku tak tahu siapa sebenarnya cintaku ini
Ingin rasanya aku terbang untuk menemukan cintaku itu
Tapi apakah aku akan dapat dengan mudah meraihnya
Karena cinta itu tak mudah diraih
Karena cinta itu juga tak mudah di genggam
Butuh pengorbanan yang berat untuk mendapatkannya
Tapi kini aku bisa merasakan cinta yang sebenarnya
Saat aku bertemu denganmu
Dan kini aku semakin yakin bahwa kau adalah cinta sejatiku
Cinta yang selama ini aku cari dengan penuh pengorbanan.”
Lalu lampu itu tiba-tiba menyala kembali. Ternyata orang yang memegang dua lilin berbentuk love adalah Aldi.
“ Mas Aldi, kamu . . .”
“Alin maukah kamu menjadi kekasihku. Karena kini di hatiku hanya ada kamu dan Risa. Mau kan?”
Serentak semua keluarga dan para tamu meneriakkan . .
“TRIMA . . .TRIMA . . . .TRIMA. . .”
Alin menunduk, tanpa disadari air matanya menetes. Lalu ia menganggukan kepalanya dengan pelan.
“Makasih ya Lin. . . Aku janji aku bakalan jagain kamu, kemanapun kamu pergi. Besok kita ke makam Vian ama Risa ya . .” ucap Aldi dengan suara lirih pula.
“Ya, aku juga pengen liat fotonya mba Risa. Tapi sekarang kita lanjutin acaranya dulu ya . . .”

Hari-haripun berjalan dengan indah . . .
“Sayang, udah di tunggu tuch ama Aldi. Cepetan dikit donk.”
“Iya bun . . . .”
Di buku harian Alin yang dulu merupakan hadiah dari Vian, ia menulis.
Vian, sekarang aku temuin penggantimu. Dia sifatnya mirip banget sama kamu. Walaupun aku telah menemukan penggantimu, tapi aku gak akan hapus kamu dari pikiran maupun hatiku.
Di hatiku tetap ada kamu sebagai masa laluku, dan ada Aldi. Jika itu yang kamu inginkan, agar aku hidup bahagia. Tenanglah kau disana jangan cemaskan aku. Aku berjanji akan menjadi orang yang lebih baik, aku juga gak akan marah-marah lagi. Karena aku gak pengen kehilangan orang yang aku cintai lagi seperti kamu dulu. Aku cinta kau dan dia . . . . Sampai maut menjemputku.

Cinta Alin yang begitu besar kepada Vian, tidak dapat tergantikan oleh orang lain. Namun cinta dapat berkata lain. Walaupun kita tidak mau jatuh cinta lagi karena takut terpuruk dalam kesedihan jika cinta itu pergi, tetapi jika cinta telah berkata lain dan tak ada yang bisa melawannya.
Hingga Akhir Waktu, Alin akan terus mengingat dan menyimpan kisah cintanya yang kini telah pergi meninggalkannya bersama kenangan-kenangan yang indah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar